Minggu, 16 Agustus 2009

Kawin Campur

oleh: P. Antonius Dwi Joko, Pr *

Di dalam perkawinan, suami-istri bersama-sama berupaya untuk mewujudkan persekutuan hidup dan cintakasih dalam semua aspek dan dimensinya: personal-manusiawi dan spiritual-religius sekaligus. Agar persekutuan semacam itu bisa dicapai dengan lebih mudah, Gereja menghendaki agar umatnya memilih pasangan yang seiman, mengingat bahwa iman berpengaruh sangat kuat terhadap kesatuan lahir-batin suami-istri, pendidikan anak dan kesejahteraan keluarga.

Mengingat relevansi iman terhadap perkawinan sakramental dan pengaruh perkawinan sakramental bagi kehidupan iman itulah Gereja Katolik menginginkan agar anggotanya tidak melakukan perkawinan campur, dalam arti menikah dengan orang non-Katolik, entah dibaptis non-Katolik (mixta religio) maupun tidak baptis (disparitas cultus). Di samping itu, ada sebuah norma moral dasar yang perlu diindahkan, yakni bahwa setiap orang dilarang melakukan sesuatu yang membahayakan imannya. Iman adalah suatu nilai yang amat tinggi, yang perlu dilindungi dengan cinta dan bakti.

Namun Gereja juga menyadari akan komplesitas dan pluralitas situasi masyarakat, di mana orang-orang Katolik hidup berdampingan dengan non-Katolik. Selain itu, semangat ekumenis Gereja Katolik untuk merangkul dan bekerjasama dengan pihak-pihak Kristen lainnya, serta kesadaran akan kebebasan beragama, telah mendorong Gereja Katolik sampai pada pemahaman akan realita terjadinya perkawinan campur.

1. Pengertian


Perkawinan campur, yaitu perkawinan antara seorang baptis Katolik dan pasangan yang bukan Katolik (bisa baptis dalam gereja lain, maupun tidak dibaptis). Gereja memberi kemungkinan untuk perkawinan campur karena membela dua hak asasi, yaitu hak untuk menikah dan hak untuk memilih pegangan hidup (agama) sesuai dengan hati nuraninya.

Keyakinan Gereja tentang perkawinan sebagai sakramen dan dimungkinkannya perkawinan campur tidak boleh diartikan bahwa Gereja membedakan dua perkawinan, seakan-akan ada perkawinan kelas 1 dan kelas 2. Perkawinan yang sudah diteguhkan secar sah dan dimohonkan berkat dari Tuhan apapun jenisnya, semuanya berkenan di hadapan Tuhan. Semuanya dipanggil untuk memberi kesaksian akan kasih Kristus kepada manusia.

2. Dua jenis Perkawinan Campur

Perkawinan campur beda gereja (seorang baptis Katolik menikah dengan seorang baptis non-Katolik) perkawinan ini membutuhkan ijin. Perkawinan campur beda agama (seorang dibaptis Katolik menikah dengan seorang yang tidak dibaptis) untuk sahnya dibutuhkan dispensasi.

3. Persyaratan mendapatkan Ijin atau Dispensasi

a. Pihak Katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji dengan jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dididik dalam Gereja Katolik (kan.1125, 1°).

b. Pihak yang non-Katolik diberitahu pada waktunya mengenai janji-janji yang harus dibuat pihak Katolik, sedemikian sehingga jelas bahwa ia sadar akan janji dan kewajiban pihak Katolik (kan.1125, 2°).

c. Kedua pihak hendaknya diberi penjelasan mengenai tujuan-tujuan serta sifat-sifat hakiki perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya (kan.1125, 3°).

Janji ini acapkali menjadi salah satu permasalahan. Maka sangat dianjurkan untuk dibereskan dahulu, sehingga bisa diantisipasi.

4. Soal Larangan Nikah Ganda (Kan 1127 $ 3)

Kita berhadapan dengan kenyataan: dalam perkawinan campur, tata peneguhan kanonik diwajibkan, sedangkan nikah ganda (peneguhan sebelum atau sesudah peneguhan Katolik masih diadakan peneguhan menurut agama lain) dilarang.

Kesan yang sering timbul dari pihak non-Katolik: Gereja Katolik mau menangnya sendiri, mengapa tidak “fifty-fifty”: baik menurut hukum agama Katolik di Gereja Katolik, maupun menurut agama yang lain. Tetapi justru ini dilarang kan. 1127 $ 3 yang sering sulit dipahami pihak non-Katolik.

1. Dalam Pernikahan Beda Gereja

Terbuka perkawinan ekumenis di hadapan pendeta dan pelayan Katolik, kalau perlu bahkan dengan dispensasi dari tata peneguhan kanonik (bila pernyataan konsensus tidak diterimakan oleh pelayan Katolik). Maka perlu disepakati pembagian tugas yang jelas antara pendeta dan pelayan Katolik, misalnya firman dan berkat diserahkan kepada pendeta, sedangkan pelaksanaan tata peneguhan kanonik dipercayakan kepada pelayan Katolik, demi sahnya perkawinan.

2. Dalam Pernikahan Beda Agama

Terutama pihak non-Katolik dapat mempunyai keberatan, mungkin bahkan menurut hati nuraninya: sebelum menikah menurut agamanya, perkawinan tidak sah, dan hubungannya dirasakan sebagai zinah. Atau dapat juga terjadi bahwa fakta ini dipakai sebagai kesempatan untuk berpisah (menceraikan jodohnya) dengan alasan: belum menikah sah.

5. Pastoral bagi Pasangan Kawin Campur

Yang paling krusial adalah masalah anak. Orangtua tetap bertanggung awab soal pendidikan anak. Dan harus dibereskan sebelum menikah.

Sejak dulu kawin campur menjadi halangan, sebab menjadi ancaman iman. Maka Gereja mengingatkan bagi mereka yang melakukan kawin campur agar supaya tidak lupa akan janjinya. Selain itu mengingatkan orangtua akan kewajiban mendidik anak. Sebenarnya dua-duanya diingatkan. Yang diharapkan Gereja supaya mereka sadar akan pertumbuhan anak, yang harus dibicarakan sejak awal, sebenarnya hanya untuk membentengi iman. Bagi yang Katolik bila sudah membaptiskan anak berarti sudah melaksanakan janji itu? Belum, sebab soal pendidikan selanjutnya harus dipikirkan. Seandainya mengalami kesulitan besar sehingga tidak membaptiskan anak, tidak berarti tidak berhasil mendidik anak. Yang penting adalah melakukan yang baik untuk anak. Ini adalah resiko orang menikah kawin campur.

Memang sudah banyak ajakan untuk meningkatkan pastoral perkawinan dan keluarga, tak hanya untuk tahap persiapan perkawinan yang hanya meliputi waktu yang amat pendek, melainkan terutama untuk tahap pasca-nikah yang meliputi hal-hal praktis seluruh hidup perkawinan. Namun demikian upaya-upaya itu kerap kali masih sporadis dan insidental, daripada gerakan yang melibatkan seluruh umat.

Dalam pandangan Gereja tentang kawin campur sudah disebut unsur-unsur (misalnya sehubungan dengan interaksi antara perkawinan dan agama) yang menggarisbawahi perlunya pastoral perkawinan dan keluarga pada umumnya, dan kawin campur pada khususnya. Kiranya pasangan kawin campur tidak hanya menunggu saja, tapi perlu aktif membina diri dan mencari kesempatan untuk memperkembangkan hidup imannya.

Hal yang utama dalam perkawinan adalah kasih. Kasih yang selalu terikat pada pribadi. Perlu senantiasa mengusahakan berbagai hal yang menyatukan. De fakto dalam perkawinan campur ada perbedaan, namun membicarakan perbedaan tidaklah berguna bahkan menimbulkan kerenggangan. Senantiasa yakin akan pemeliharaan dan penyertaan Tuhan.

6. Kesulitan Pencatatan Sipil

Berlakunya UU Perkawinan RI 1974 mengakibatkan tidak mudahnya mereka yang menikah dalam perkawinan campur untuk mendapatkan pengesahan sipil. Sering dijumpai tidak konsistennya petugas pencatatan sipil. Pasangan perkawinan campur tidak boleh menyerah dalam mengusahakan pengesahan secara sipil, apapun caranya.

7. Saran dan Harapan bagi Orangtua dan Mudika

Memang sudah cukup banyak usaha-usaha pastoral untuk mengurangi kawin campur. Namun seringkali usaha-usaha itu masih sporadis, dan belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Kiranya perlu suatu gerakan bersama. Belum lagi kesulitan banyak kaum muda untuk menemukan pasangan hidup yang seiman.

Salah satu usaha pastoral tradisional untuk mengurangi kawin campur adalah menggalakkan aktivitas Mudika. Namun kita sadari juga bahwa pada akhir-akhir ini minat kaum muda untuk berkumpul, mengadakan aktivitas bersama rekan seiman dirasa menurun.

Kiranya peran para orangtua untuk mendorong kaum muda untuk lebih banyak berinteraksi dengan teman mudika perlu kembali ditingkatkan. Orangtua tidak cukup kalau hanya mengharapkan atau bahkan menuntut agar anaknya tidak melakukan kawin campur.

Tentu tak kalah pentingnya adalah usaha mudika sendiri untuk mengembangkan diri dan menyiapkan diri sedini mungkin untuk memasuki kehidupan keluarga dan perkawinan. Banyak calon pasangan sungguh tidak siap memasuki hidup perkawinan dan keluarga. Kaum muda perlu mempersiapan hidup perkawinan sejak dini. Perlu memahami apa itu tujuan perkawinan, sifat-sifat hakiki perkawinan Katolik. Perlu juga mengetahui halangan-halangan perkawinan, dan sebagainya. Karena itu hendaknya kaum muda sungguh berani lebih terlibat dalam aktivitas-aktivitas mudika. Di sana kaum muda juga akan berdiskusi bersama dan lewat interaksi itu akan semakin memahami hakekat perkawinan Kristiani dan mempersiapkan diri ke arah itu. Dan tentu saja, urusan pasangan hidup, kiranya tetap tekun memohon kasih karunia Tuhan untuk itu.

* Vikaris Yudisial Keuskupan Surabaya.