Minggu, 16 Agustus 2009

Haruskah Menikah di Gereja Katolik?

Apakah seorang Katolik harus menikah di Gereja Katolik?
~ seorang pembaca di Fairfax

Jawab singkatnya “ya”, tetapi baiklah kita memahami juga “mengapa”. Dalam Sakramen Perkawinan, seorang laki-laki yang dibaptis Kristiani saling bertukar janji dengan seorang perempuan yang dibaptis Kristiani. Di hadapan Allah yang Mahakuasa, mereka saling menjanjikan satu sama lain suatu kasih yang setia, tetap, eksklusif, berkurban diri dan memberi hidup. Melalui perkawinan, pasangan sekarang masuk ke dalam suatu status hidup yang baru di hadapan publik, baik di mata Gereja maupun masyarakat; sebab itu, “maka tepat bahwa perkawinan secara publik dilaksanakan dalam kerangka perayaan liturgi di depan imam (atau di depan saksi yang diberi kuasa oleh Gereja untuk maksud tersebut), di depan para saksi perkawinan dan di depan jemaat beriman” (Katekismus Gereja Katolik, No. 1663).

Berdasarkan pemahaman ini, seorang Katolik (entah dibaptis sebagai seorang Katolik atau kemudian masuk ke dalam Gereja Katolik setelah dibaptis di suatu denominasi Kristen lainnya) terikat unguk menikah dalam Gereja Katolik. Gereja, di mana orang menerima Pembaptisan dan Penguatan, menyambut Komuni Kudus dan mengaku iman, haruslah Gereja di mana orang itu menikah. Dengan demikian, entah seorang Katolik menikah dengan seorang Katolik atau seorang yang dibaptis Kristen non-Katolik (atau bahkan seorang yang tidak dibaptis), merupakan suatu pengharapan yang normal dan wajar jika perkawinannya dilangsungkan dalam Gereja Katolik dan anak-anaknya dididik dalam iman Katolik.

Namun demikian, ketika seorang Katolik menikah dengan seorang yang dibaptis Kristen non-Katolik, keadaan yang wajar dapat terjadi ketika pasangan berkehendak menikah di gereja non-Katolik. Dalam hal demikian, pasangan akan memenuhi prasyarat persiapan perkawinan secara Katolik pada umumnya. Pihak Katolik juga akan menegaskan niatnya untuk tidak meningalkan Gereja Katolik, dan untuk berjanji membaptis serta mendidik anak-anaknya dalam iman Katolik. Pihak non-Katolik akan diberitahu mengenai janji-janji ini, menegaskan memahami janji-janji ini dan berjanji untuk tidak campur tangan dalam pemenuhan janji-janji tersebut. Setelah persiapan dan pernyataan janji-janji ini, imam akan memohon kepada Uskup atas nama pasangan untuk mendapatkan “Dispensasi atas Forma Kanonik,” artinya ijin bagi pasangan untuk menikah di luar Gereja Katolik. Gereja membutuhkan dispensasi sebab Uskup, sebagai gembala keuskupan dan pemelihara jiwa-jiwa, wajib memastikan bahwa pasangan dipersiapkan sebaik mungkin untuk perkawinan dan siap untuk masuk ke dalam mahligai perkawinan yang kudus. Tanpa ijin yang demikian, perkawinan tidak sah di mata Gereja Katolik (bdk Kitab Hukum Kanonik, No. 1124-1125).

Sebagai contoh, ketika saya bertugas sebagai pastor pembantu di Gereja St Mary, dalam suatu kesempatan saya mempersiapkan perkawinan suatu pasangan di mana paman mempelai perempuan adalah seorang pendeta Presbyterian, yang dikehendaki pasangan ini untuk memimpin upacara perkawinan. Setelah pasangan memenuhi persiapan perkawinan secara Katolik dan menyatakan janji-janji, saya memohon Uskup Keating untuk Dispensasi, yang dikabulkannya. Pasangan ini menikah di balai Gereja Presbyterian yang bersebelahan dengan Gereja St Mary. Sang paman yang adalah pendeta Presbyterian memimpin upacara, dan saya juga ada di sana untuk menyampaikan berkat perkawinan. Perkawinan ini sepenuhnya diakui oleh Gereja.

Namun demikian, apabila seorang Katolik melangsungkan perkawinan di luar Gereja Katolik tanpa disertai dispensasi, (lagi, entah menikah dengan seorang yang dibaptis Kristen non-Katolik atau seorang yang tidak dibaptis), maka perkawinan ini dianggap tidak sah dan tidak diakui Gereja. Di samping itu, tindakan ini menempatkan orang yang bersangkutan dalam keadaan dosa berat, yang pada gilirannya berarti bahwa ia tidak lagi dapat menyambut Komuni Kudus. Sebagai contoh, apabila seorang Katolik yang menikah entah dengan seorang Katolik atau dengan seorang lainnya memutuskan untuk menikah di suatu gereja lain atau sekedar menurut catatan sipil, maka perkawinan tersebut tidak sah. Meski perkawinan yang demikian memiliki status sah di mata negara, namun tidak di mata Gereja.

Sekedar tambahan: apabila seorang yang dibaptis secara Katolik telah secara resmi mengingkari iman Katoliknya dengan bergabung dengan suatu gereja lain atau dengan suatu pernyataan publik lainnya, maka ia tidak lagi terikat dengan peraturan-peraturan ini sebab secara teknis ia bukan lagi seorang warga Gereja Katolik. Pada intinya, seorang Katolik yang saleh dan tulus hati, sepatutnya rindu untuk menikah dalam Gereja Katolik atau setidaknya mendapatkan ijin yang diperlukan untuk menikah di luar Gereja.

Sebagai seorang pastor, saya heran akan begitu banyak orang yang tak tahu-menahu perihal kewajiban ini. Terlalu banyak pasangan yang terdaftar di paroki sebagai tidak menikah di Gereja. Ketika saya memeriksa untuk melihat bagaimana keadaan ini dapat diperbaiki, saya terkejut mendapati bahwa sebagian dari mereka tidak pernah tahu bahwa mereka wajib menikah dalam Gereja Katolik atau pertama-tama menerima dispensasi yang diperlukan untuk menikah di tempat lain. Yang menyedihkan, sebagian dari mereka ini marah pada kenyataan bahwa Gereja menganggap perkawinan mereka tidah sah dan bahwa mereka harus mengikuti langkah-langkah yang diperlukan demi mensahkan perkawinan mereka, yang terutama menyangkut pembaharuan janji-janji perkawinan di hadapan seorang imam (atau saksi Gereja yang berwenang) dan di hadapan dua orang saksi. Jelas, para pastor, orangtua, dan katekis perlu menekankan pentingnya perkawinan dalam Gereja Katolik kepada mereka yang dipercayakan ke dalam pemeliharaan mereka.


oleh: P. William P. Saunders,
Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.

sumber : “Straight Answers: Marriage in the Church” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2005 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com

“Diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

Kawin Campur

oleh: P. Antonius Dwi Joko, Pr *

Di dalam perkawinan, suami-istri bersama-sama berupaya untuk mewujudkan persekutuan hidup dan cintakasih dalam semua aspek dan dimensinya: personal-manusiawi dan spiritual-religius sekaligus. Agar persekutuan semacam itu bisa dicapai dengan lebih mudah, Gereja menghendaki agar umatnya memilih pasangan yang seiman, mengingat bahwa iman berpengaruh sangat kuat terhadap kesatuan lahir-batin suami-istri, pendidikan anak dan kesejahteraan keluarga.

Mengingat relevansi iman terhadap perkawinan sakramental dan pengaruh perkawinan sakramental bagi kehidupan iman itulah Gereja Katolik menginginkan agar anggotanya tidak melakukan perkawinan campur, dalam arti menikah dengan orang non-Katolik, entah dibaptis non-Katolik (mixta religio) maupun tidak baptis (disparitas cultus). Di samping itu, ada sebuah norma moral dasar yang perlu diindahkan, yakni bahwa setiap orang dilarang melakukan sesuatu yang membahayakan imannya. Iman adalah suatu nilai yang amat tinggi, yang perlu dilindungi dengan cinta dan bakti.

Namun Gereja juga menyadari akan komplesitas dan pluralitas situasi masyarakat, di mana orang-orang Katolik hidup berdampingan dengan non-Katolik. Selain itu, semangat ekumenis Gereja Katolik untuk merangkul dan bekerjasama dengan pihak-pihak Kristen lainnya, serta kesadaran akan kebebasan beragama, telah mendorong Gereja Katolik sampai pada pemahaman akan realita terjadinya perkawinan campur.

1. Pengertian


Perkawinan campur, yaitu perkawinan antara seorang baptis Katolik dan pasangan yang bukan Katolik (bisa baptis dalam gereja lain, maupun tidak dibaptis). Gereja memberi kemungkinan untuk perkawinan campur karena membela dua hak asasi, yaitu hak untuk menikah dan hak untuk memilih pegangan hidup (agama) sesuai dengan hati nuraninya.

Keyakinan Gereja tentang perkawinan sebagai sakramen dan dimungkinkannya perkawinan campur tidak boleh diartikan bahwa Gereja membedakan dua perkawinan, seakan-akan ada perkawinan kelas 1 dan kelas 2. Perkawinan yang sudah diteguhkan secar sah dan dimohonkan berkat dari Tuhan apapun jenisnya, semuanya berkenan di hadapan Tuhan. Semuanya dipanggil untuk memberi kesaksian akan kasih Kristus kepada manusia.

2. Dua jenis Perkawinan Campur

Perkawinan campur beda gereja (seorang baptis Katolik menikah dengan seorang baptis non-Katolik) perkawinan ini membutuhkan ijin. Perkawinan campur beda agama (seorang dibaptis Katolik menikah dengan seorang yang tidak dibaptis) untuk sahnya dibutuhkan dispensasi.

3. Persyaratan mendapatkan Ijin atau Dispensasi

a. Pihak Katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji dengan jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dididik dalam Gereja Katolik (kan.1125, 1°).

b. Pihak yang non-Katolik diberitahu pada waktunya mengenai janji-janji yang harus dibuat pihak Katolik, sedemikian sehingga jelas bahwa ia sadar akan janji dan kewajiban pihak Katolik (kan.1125, 2°).

c. Kedua pihak hendaknya diberi penjelasan mengenai tujuan-tujuan serta sifat-sifat hakiki perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya (kan.1125, 3°).

Janji ini acapkali menjadi salah satu permasalahan. Maka sangat dianjurkan untuk dibereskan dahulu, sehingga bisa diantisipasi.

4. Soal Larangan Nikah Ganda (Kan 1127 $ 3)

Kita berhadapan dengan kenyataan: dalam perkawinan campur, tata peneguhan kanonik diwajibkan, sedangkan nikah ganda (peneguhan sebelum atau sesudah peneguhan Katolik masih diadakan peneguhan menurut agama lain) dilarang.

Kesan yang sering timbul dari pihak non-Katolik: Gereja Katolik mau menangnya sendiri, mengapa tidak “fifty-fifty”: baik menurut hukum agama Katolik di Gereja Katolik, maupun menurut agama yang lain. Tetapi justru ini dilarang kan. 1127 $ 3 yang sering sulit dipahami pihak non-Katolik.

1. Dalam Pernikahan Beda Gereja

Terbuka perkawinan ekumenis di hadapan pendeta dan pelayan Katolik, kalau perlu bahkan dengan dispensasi dari tata peneguhan kanonik (bila pernyataan konsensus tidak diterimakan oleh pelayan Katolik). Maka perlu disepakati pembagian tugas yang jelas antara pendeta dan pelayan Katolik, misalnya firman dan berkat diserahkan kepada pendeta, sedangkan pelaksanaan tata peneguhan kanonik dipercayakan kepada pelayan Katolik, demi sahnya perkawinan.

2. Dalam Pernikahan Beda Agama

Terutama pihak non-Katolik dapat mempunyai keberatan, mungkin bahkan menurut hati nuraninya: sebelum menikah menurut agamanya, perkawinan tidak sah, dan hubungannya dirasakan sebagai zinah. Atau dapat juga terjadi bahwa fakta ini dipakai sebagai kesempatan untuk berpisah (menceraikan jodohnya) dengan alasan: belum menikah sah.

5. Pastoral bagi Pasangan Kawin Campur

Yang paling krusial adalah masalah anak. Orangtua tetap bertanggung awab soal pendidikan anak. Dan harus dibereskan sebelum menikah.

Sejak dulu kawin campur menjadi halangan, sebab menjadi ancaman iman. Maka Gereja mengingatkan bagi mereka yang melakukan kawin campur agar supaya tidak lupa akan janjinya. Selain itu mengingatkan orangtua akan kewajiban mendidik anak. Sebenarnya dua-duanya diingatkan. Yang diharapkan Gereja supaya mereka sadar akan pertumbuhan anak, yang harus dibicarakan sejak awal, sebenarnya hanya untuk membentengi iman. Bagi yang Katolik bila sudah membaptiskan anak berarti sudah melaksanakan janji itu? Belum, sebab soal pendidikan selanjutnya harus dipikirkan. Seandainya mengalami kesulitan besar sehingga tidak membaptiskan anak, tidak berarti tidak berhasil mendidik anak. Yang penting adalah melakukan yang baik untuk anak. Ini adalah resiko orang menikah kawin campur.

Memang sudah banyak ajakan untuk meningkatkan pastoral perkawinan dan keluarga, tak hanya untuk tahap persiapan perkawinan yang hanya meliputi waktu yang amat pendek, melainkan terutama untuk tahap pasca-nikah yang meliputi hal-hal praktis seluruh hidup perkawinan. Namun demikian upaya-upaya itu kerap kali masih sporadis dan insidental, daripada gerakan yang melibatkan seluruh umat.

Dalam pandangan Gereja tentang kawin campur sudah disebut unsur-unsur (misalnya sehubungan dengan interaksi antara perkawinan dan agama) yang menggarisbawahi perlunya pastoral perkawinan dan keluarga pada umumnya, dan kawin campur pada khususnya. Kiranya pasangan kawin campur tidak hanya menunggu saja, tapi perlu aktif membina diri dan mencari kesempatan untuk memperkembangkan hidup imannya.

Hal yang utama dalam perkawinan adalah kasih. Kasih yang selalu terikat pada pribadi. Perlu senantiasa mengusahakan berbagai hal yang menyatukan. De fakto dalam perkawinan campur ada perbedaan, namun membicarakan perbedaan tidaklah berguna bahkan menimbulkan kerenggangan. Senantiasa yakin akan pemeliharaan dan penyertaan Tuhan.

6. Kesulitan Pencatatan Sipil

Berlakunya UU Perkawinan RI 1974 mengakibatkan tidak mudahnya mereka yang menikah dalam perkawinan campur untuk mendapatkan pengesahan sipil. Sering dijumpai tidak konsistennya petugas pencatatan sipil. Pasangan perkawinan campur tidak boleh menyerah dalam mengusahakan pengesahan secara sipil, apapun caranya.

7. Saran dan Harapan bagi Orangtua dan Mudika

Memang sudah cukup banyak usaha-usaha pastoral untuk mengurangi kawin campur. Namun seringkali usaha-usaha itu masih sporadis, dan belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Kiranya perlu suatu gerakan bersama. Belum lagi kesulitan banyak kaum muda untuk menemukan pasangan hidup yang seiman.

Salah satu usaha pastoral tradisional untuk mengurangi kawin campur adalah menggalakkan aktivitas Mudika. Namun kita sadari juga bahwa pada akhir-akhir ini minat kaum muda untuk berkumpul, mengadakan aktivitas bersama rekan seiman dirasa menurun.

Kiranya peran para orangtua untuk mendorong kaum muda untuk lebih banyak berinteraksi dengan teman mudika perlu kembali ditingkatkan. Orangtua tidak cukup kalau hanya mengharapkan atau bahkan menuntut agar anaknya tidak melakukan kawin campur.

Tentu tak kalah pentingnya adalah usaha mudika sendiri untuk mengembangkan diri dan menyiapkan diri sedini mungkin untuk memasuki kehidupan keluarga dan perkawinan. Banyak calon pasangan sungguh tidak siap memasuki hidup perkawinan dan keluarga. Kaum muda perlu mempersiapan hidup perkawinan sejak dini. Perlu memahami apa itu tujuan perkawinan, sifat-sifat hakiki perkawinan Katolik. Perlu juga mengetahui halangan-halangan perkawinan, dan sebagainya. Karena itu hendaknya kaum muda sungguh berani lebih terlibat dalam aktivitas-aktivitas mudika. Di sana kaum muda juga akan berdiskusi bersama dan lewat interaksi itu akan semakin memahami hakekat perkawinan Kristiani dan mempersiapkan diri ke arah itu. Dan tentu saja, urusan pasangan hidup, kiranya tetap tekun memohon kasih karunia Tuhan untuk itu.

* Vikaris Yudisial Keuskupan Surabaya.

Paham Perkawinan

Paham Perkawinan menurut Kitab Hukum Kanonik 1983

oleh: P. Antonius Dwi Joko, Pr *


PERKEMBANGAN PEMAHAMAN


Dalam tahun-tahun setelah Konsili Vatikan II, pemahaman tentang Perkawinan Kristiani mengalami perkembangan yang pesat. Perkawinan yang semula dilihat hanya sebagi kontrak, kini dipandang sebagai perjanjian (covenant, foedus) yang membentuk suatu persekutuan hidup dan cinta yang mesra.

Dalam Kitab Hukum Kanonik 1917 (hukum lama), kan. 1013 dikatakan bahwa tujuan pertama perkawinan adalah mendapat keturunan dan pendidikan anak; sedangkan yang kedua adalah saling menolong sebagai suami dan sebagai obat penyembuh atau penawar nafsu seksual. Namun sekarang, dengan mengikuti ajaran ensiklik Humanae Vitae dari Paus Paulus VI, cinta suami istri dilihat sebagai elemen perkawinan yang esensial. Kodeks baru (KHK 83) dalam Kan 1055, $ 1 berbicara tentang hal itu dalam arti “bonum coniugum” (kebaikan, kesejahteraan suami-istri).

Hak atas tubuh suami-istri dalam kodeks lama merupakan tindakan yang sesuai bagi kelahiran anak. Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes (GS) no. 48 menekankan pemberian atau penyerahan diri seutuhnya (total self donation, total giving of self). Maka, perkawinan tidak dilihat sebagai suatu kesatuan antara dua badan (tubuh), melainkan suatu kesatuan antara dua pribadi (persona).

PAHAM DASAR PERKAWINAN

“Dengan perjanjian perkawinan pria dan wanita membentu antara mereka kebersamaan seluruh hidup; dari sifat kodratinya perjanjian itu terarah pada kesejahteraan suami-isteri serta kelahiran dan pendidikan anak; oleh Kristus Tuhan perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat Sakramen.” (Kan. 1055 $ 1)

a. Perjanjian Perkawinan

Perkawinan itu dari kodratnya adalah suatu perjanjian (covenant, foedus). Dalam tradisi Yahudi, perjanjian berarti suatu “agreement” (persetujuan) yang membentuk (menciptakan) suatu hubungan sedemikian rupa sehingga mempunyai kekuatan mengikat sama seperti hubungan antara orang-orang yang mempunyai hubungan darah. Konsekwensinya, hubungan itu tidak berhenti atau berakhir, sekalipun kesepakatan terhadap perjanjian itu ditarik kembali. Berdasarkan pilihan bebas dari suami-istri, suatu perjanjian sesungguhnya akan meliputi relasi antar pribadi seutuhnya yang terdiri dari hubungan spiritual, emosional dan fisik.

b. Kebersamaan Seluruh Hidup

Dari kodratnya perkawinan adalah suatu kebersamaan seluruh hidup (consortium totius vitae. “Consortium”, con = bersama, sors = nasib, jadi kebersamaan senasib. Totius vitae = seumur hidup, hidup seutuhnya). Ini terjadi oleh perjanjian perkawinan. Suami istri berjanji untuk menyatukan hidup mereka secara utuh hingga akhir hayat (bdk. janji Perkawinan).

c. Antara Pria dan Wanita

Pria dan wanita diciptakan menurut gambaran Allah dan diperuntukkan satu sama lain, saling membutuhkan, saling melengkapi, saling memperkaya. Menjadi “satu daging” (Kej 2:24).

d. Sifat Kodrati Keterarahan kepada Kesejahteraan Suami-Istri (Bonum Coniugum)

Selain tiga “bona” (bonum = kebaikan) perkawinan yang diajarkan St. Agustinus, yakni (a) bonum prolis: kebaikan anak, bahwa perkawinan ditujukan kepada kelahiran dan pendidikan anak, (b) bonum fidei: kebaikan kesetiaan, menunjuk kepada sifat kesetiaan dalam perkawinan, dan (c) bonum sacramenti: kebaikan sakramen, menunjuk pada sifat permanensi perkawinan; Gaudium et Spes no. 48 menambah lagi satu “bonum” yang lain, yakni bonum coniugum (kebaikan, kesejahteraan suami-istri).

e. Sifat Kodrati Keterarahan kepada Anak

Perkawinan terbuka terhadap kelahiran anak dan pendidikannya. KHK 1983 tidak lagi mengedepankan prokreasi sebagai tujuan pertama perkawinan yang mencerminkan tradisi berabad-abad sejak Agustinus, melainkan tanpa hirarki tujuan-tujuan menghargai aspek personal perkawinan dan menyebut lebih dahulu kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum)

f. Perkawinan sebagai Sakramen

Perkawinan Kristiani bersifat sakramental. Bagi pasangan yang telah dibabtis, ketika mereka saling memberikan konsensus dalam perjanjian, maka perkawinan mereka menjadi sah sekaligus sakramen.

SIFAT-SIFAT HAKIKI PERKAWINAN (Kan. 1056)

Kanon 1056 mengatakan: “Sifat-sifat hakiki perkawinan ialah monogam dan tak terputuskan, yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus karena sakramen.”
Sifat-sifat hakiki perkawinan, yaitu monogami dan sifat tak terputuskannya ikatan perkawinan, termasuk paham Perkawinan Katolik. Patut diperhatikan bahwa penafsiran serta penerapannya di dalam Gereja Katolik tak jarang berbeda dengan di kalangan non-Katolik. Kedua sifat hakiki ini berkaitan erat sekali, sehingga perkawian kedua tidak sah, meskipun suami-istri perkawinan pertama telah diceraikan secara sipil atau menurut hukum agama lain, karena Gereja Katolik tidak mengakui validitas atau efektivitas perceraian itu. Dengan demikian suami istri yang telah cerai itu di mata Gereja masih terikat perkawinan dan tak dapat menikah lagi dengan sah. Andaikata itu terjadi, maka di mata Gereja terjadi poligami suksesif.

1. Monogami

Arti Monogami

Monogami berarti perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita. Jadi, merupakan lawan dari poligami atau poliandri. Sebenarnya UU Perkawinan RI No. 1 tahun 1974 juga menganut asas monogami, tetapi asas ini tidak dipegang teguh karena membuka pintu untuk poligami, tetapi tidak untuk poliandri.

Implikasi atau konsekuensi Monogami

Sebaiknya dibedakan implikasi / konsekuensi moral dan hukum. Di sini perhatian lebih dipusatkan pada hukum. Dengan berpangkal pada kesamaan hak pria dan wanita yang setara, sehingga poligami dan poliandri disamakan:

(1). Mengesampingkan poligami simultan: dituntut ikatan perkawinan dengan hanya satu jodoh pada waktu yang sama.

(2). Mengesampingkan poligami suksesif, artinya, berturut-turut kawin cerai, sedangkan hanya perkawinan pertama yang dianggap sah, sehingga perkawinan berikutnya tidak sah. Kesimpulan ini hanya dapat ditarik berdasarkan posisi dua sifat perkawinan seperti yang dicanangkan Kan. 1056: monogami eksklusif dan tak terputuskannya ikatan perkawinan. Implikasi dan konsekuensi ini lain - tetapi hal ini termasuk moral - ialah larangan hubungan intim dengan orang ketiga.

Dasar Monogami

Dasar monogami dapat dilihat dalam martabat pribadi manusia yang tiada taranya pria dan wanita yang saling menyerahkan dan menerima diri dalam cintakasih total tanpa syarat dan secara eksklusif.

Dasar ini menjadi makin jelas bila dibandingkan dengan alasan dalam UU Perkawinan yang memperbolehkan poligami, yakni: bila istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri, cacat badan atau penyakit lain yang tidak dapat disembuhkan, dan bila istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Dalam pendasaran ini istri diperlakukan menurut sifat-sifat tertentu, dan tidak menurut martabatnya sebagai pribadi manusia. Bdk. Gagasan janji perkawinan: kasih setia dalam suka-duka, untung-malang, sehat-sakit.

Tak jarang dilontarkan argumen mendukung poligami yang dianggap lebih sosial menanggapi masalah kekurangan pria, sedangkan penganut monogami tak tanggap terhadap kesulitan wanita mendapatkan jodoh.


2. Sifat tak-terputuskannya Ikatan Perkawinan

Arti

Ikatan perkawinan berlaku seumur hidup karena perkawinan berarti penyerahan diri secara total tanpa syarat, juga tanpa pembatasan waktu di dunia fana ini.

Implikasi

Memang kesesatan saja tentang sifat-sifat hakiki perkawinan tidak otomatis membuat perkawinan menjadi tidak sah, tetapi sifat-sifat hakiki ini juga menjadi obyek konsensus perkawinan (Kan. 1099).

Barangsiapa menjanjikan kesetiaan tetapi tidak menghendaki perkawinan seumur hidup melakukan simulasi parsial yang membuat perkawinan itu menjadi tidak sah.

Barangsiapa bercerai, tidak memenuhi janjinya untuk menikah seumur hidup, dan bila ia menikah lagi, maka perkawinan itu tidak sah, karena masih terikat pada perkawinan sebelumnya.

Itulah salah satu kesulitan umat Katolik di Indonesia, di mana 60 % perkawinan setiap tahun diceraikan.

Dasar

Dalam Kitab Suci : misalnya Mrk 10:2-12; Mat 5: 31-32; 19:2-12; Luk 16:18
Ajaran Gereja : Konsili Trente (DS 1807); Konsili Vatikan II (GS 48), Familiaris Consortio 20; Katekismus Gereja Katolik 1644-1645
Penalaran akal sehat memang dapat mengajukan aneka argumen untuk mendukung sifat tak terputusnya perkawinan, misalnya martabat pribadi manusia yang patut dicintai tanpa reserve, kesejahteraan suami istri, terutama istri dan anak-anak, terutama yang masih kecil. Tetapi argumen-argumen ini tak dapat membuktikan secara mutlak, artinya tanpa kekecualian.

Tingkat kekukuhan


Perkawinan Katolik bersifat permanen dan tak terceraikan, baik secara intrinsik (oleh suami istri sendiri) maupun ekstrinsik (oleh pihak luar). Dalam hal perkawinan antara orang-orang yang telah dibaptis, perkawinan itu memperoleh kekukuhan atas dasar sakramen. Meski demikian, hukum masih mengakui adanya tingkat-tingkat kekukuhan dalam perkawinan sesuai macam perkawinan itu sendiri.

(1) Perkawinan putativum (putatif): perkawinan tak sah yang diteguhkan dengan itikad baik sekurang-kurangnya oleh satu pihak (Kan 1061, $ 1). Secara hukum perkawinan ini tidak mempunyai sifat kekukuhan dan ketakterceraian sama sekali.

(2) Perkawinan legitimum antara dua orang non-baptis. Perkawinan ini sah, tapi tak sakramental, yang sekaligus mempunyai sifat kekukuhan, namun bisa diceraikan dengan Previlegium Paulinum *karena suatu alasan yang berat.

(3) Perkawinan legitimum antar seorang baptis dan seorang non-baptis. Perkawinan ini pun sah, tapi tak sakramental karena salah satu pasangan belum atau tidak dibaptis. Perkawinan inipun dapat dibubarkan karena suatu alasan yang berat dengan Previlegium Petrinum (Previlegi Iman)**, walaupun telah memperoleh ciri kekukuhan dalam dirinya.

(4) Perkawinan ratum (et non consumatum): perkawinan sah dan sakramental, tapi belum disempurnakan dengan persetubuhan (Kan 1061, $1). Tingkat kekukuhan perkawinan ini sudah masuk kategori khusus atas dasar sakramen, namun karena suatu alasan yang sangat berat, masih dapat diputus oleh Paus.

(5) Perkawinan ratum et consumatum: perkawinan sah, sakramental, dan telah disempurnakan dengan persetubuhan. Perkawinan ini pun mempunyai kekukuhan khusus atas dasar sakramen, tapi lebih dari itu bersifat sama sekali tak terceraikan, krn sudah disempurnakan dengan persetubuhan.

KONSENSUS PERKAWINAN (Kan 1057)

Konsensus atau kesepakatan perkawinan adalah perbuatan kemauan dengan mana suami istri saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali. Itu berarti hanya konsensus yang “menciptakan” atau membuat suatu perkawinan menjadi ada (matrimonium in fieri, terjadinya perkawinan pada saat mempelai menyatakan konsensus)

Pada saat mempelai saling memberikan konsensus dalam perjanjian perkawinan, saat itu dimulai hidup perkawinan atau hidup berkeluarga yang akan berlaku dan berlangsung sepanjang hidup (matrimonium in facto esse, hidup berkeluarga).

Para pihak harus cakap hukum atau mempu menurut hukum untuk membuat konsensus perkawinan (Kan 1057 $ 1), artinya mereka tidak terkena suatu cacat psikologis apapun yang dapat meniadakan konsensus perkawinan (Kan 1095).

Konsensus harus dinyatakan secara legitim, artinya harus dinyatakan oleh kedua pihak satu terhadap yang lain, menurut norma hukum yang berlaku, misalnya dengan keharusan mentaati forma canonica atau suatu bentuk tata peneguhan publik lainnya yang diakui.

Konsensus tak dapat diganti oleh kuasa manusiawi manapun; artinya tak ada kuasa apapun atau siapapun yang dapat dengan sewenang-wenang dan melawan hukum membuat konsensus bagi orang lain.

WEWENANG GEREJA ATAS PERKAWINAN ORANG-ORANG KATOLIK

Kanon 11 menyatakan bahwa orang yang dibaptis dalam Gereja Katolik atau diterima di dalammya terikat oleh undang-undang yang bersifat semata-mata gerejawi. Itu berarti mereka yang bukan Katolik, entah dibaptis atau tidak, tidak terikat oleh undang-undang tersebut.

Namun, dalam hal perkawinan, ada semacam perkecualian. Kanon 1059 mengatakan: “Perkawinan orang-orang Katolik, meskipun hanya satu pihak yang Katolik, diatur tidak hanya hukum ilahi, melainkan juga oleh hukum kanonik, dengan tetap berlaku kuasa sipil mengenai akibat-akibat yang sifatnya semata-mata sipil dari perkawinan itu.”

Dengan demikian jelas bahwa dalam hal perkawinan campur, pihak non-Katolik secara tak langsung terikat oleh undang undang gerejawi (karena harus mengikuti pasangannya yang Katolik dan yang secara langsung terikat oleh undang-undang gerejawi).

Akibat-akibat perkawinan yang semata-mata sifatnya sipil berada di luar kewenangan Gereja. Misalnya, Gereja tidak bisa mengatur bagaimana harus mengurus harta warisan, harta bawaan, harta bersama, kewarganegaraan, perubahan nama istri dengan mengikuti nama suami, dsb.

SYARAT-SYARAT UNTUK SAHNYA PERKAWINAN KATOLIK

1. Bebas dari Halangan-halangan Kanonik

Ada sekitar 12 halangan kanonik yang dibicarakan secara spesifik dalam KHK 1983, yakni:

(1) Belum Mencapai Umur Kanonik (Kan. 1083)

Kanon 1083 $ 1 menetapkan bahwa pria sebelum berumur genap 16 tahun, dan wanita sebelum berumur genap 14 tahun, tidak dapat menikah dengan sah. Ketentuan batas minimal ini perlu dimengerti bersama dengan ketentuan mengenai kematangan intelektual dan psikoseksual (Kan 1095). UU Perkawinan RI menetapkan usia minimal 19 tahun untk pria dan 17 tahun untuk wanita.

(2) Impotensi (Kan. 1084)

Ketidakmampuan untuk melakukan hubungan seksual suami-istri disebut impotensi. Impotensi bisa mengenai pria atau wanita. Menurut Kan. 1084 $ 1 impotensi merupakan halangan yang menyebabkan perkawinan tidak sah dari kodratnya sendiri, yakni jika impotensi itu ada sejak pra-nikah dan bersifat tetap, entah bersifat mutlak ataupun relatif. Halangan impotensi merupakan halangan yang bersumber dari hukum ilahi kodrati, sehingga tidak pernah bisa didespansasi.

(3) Ligamen / Ikatan Perkawinan Terdahulu (Kan. 1085)

Menurut kodratnya perkawinan adalah penyerahan diri timbal balik, utuh dan lestari antara seorang pria dan seorang wanita. Kesatuan (unitas) dan sifat monogam perkawinan ini adalah salah satu sifat hakiki perkawinan, yang berlawanan dengan perkawinan poligami atau poliandri, baik simultan maupun suksesif. Sifat monogam perkawinan adalah tuntutan yang bersumber dari hukum ilahi kodrat, yang tak bisa didispensasi. Kan 1085 $ 1 memberikan prinsip hukum kodrat demi sahnya perkawinan: “Adalah tidak sah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh orang yang terikat perkawinan sebelumnya, meskipun perkawinan itu belum disempurnakan dengan persetubuhan.”

(4) Perkawinan Beda Agama / disparitas cultus (Kan. 1086)

Di dalam perkawinan, suami-istri bersama-sama berupaya untuk mewujudkan persekutuan hidup dan cintakasih dalam semua aspek dan dimensinya: personal-manusiawi dan spiritual-religius sekaligus. Agar persekutuan semacam itu bisa dicapai dengan lebih mudah, Gereja menghendaki agar umatnya memilih pasangan yang seiman, mengingat bahwa iman berpengaruh sangat kuat terhadap kesatuan lahir-batin suami-istri, pendidikan anak dan kesejahteraan keluarga.

Mengingat relevansi iman terhadap perkawinan sakramental dan pengaruh perkawinan sakramental bagi kehidupan iman itulah Gereja Katolik menginginkan agar anggotanya tidak melakukan perkawinan campur, dalam arti menikah dengan orang non-Katolik, entah dibaptis non-Katolik (mixta religio) maupun tidak baptis (disparitas cultus). Di samping itu, ada sebuah norma moral dasar yang perlu diindahkan, yakni bahwa setiap orang dilarang melakukan sesuatu yang membahayakan imannya. Iman adalah suatu nilai yang amat tinggi, yang perlu dilindungi dengan cinta dan bakti.

(5) Tahbisan Suci (Kan. 1087)

Melalui tahbisan suci beberapa orang beriman memperoleh status kanonik yang khusus, yakni status klerikal, yang menjadikan mereka pelayan-pelayan rohani dalam gereja. Kan 1087 menetapkan: “Adalah tidak sah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang telah menerima tahbisan suci”.

(6) Kaul Kemurnian Publik dan Kekal (Kan. 1088)

Seperti tahbisan suci, demikian pula hidup religius tidak bisa dihayati bersama-sama dengan hidup perkawinan, karena seorang religius terikat kaul kemurnian (bdk. Kan. 573 $ 2; 598 $ 1)

(7) Penculikan (Kan. 1089)

Halangan penculikan atau penahanan ditetapkan untuk menjamin kebebasan pihak wanita, yang memiliki hak untuk menikah tanpa paksaan apapun. Kemauan bebas adalah syarat mutlak demi keabsahan kesepakatan nikah.

(8) Pembunuhan teman perkawinan (Kan. 1090)

Ini disebut halangan kriminal conjungicide.

(9) Konsanguinitas / Hubungan Darah (Kan. 1091)

Gereja menetapkan halangan hubungan darah untuk melindungi atau memperjuangkan nilai moral yang sangat mendasar. Pertama-tama ialah untuk menghindarkan perkawinan incest. Hubungan ini dilarang. Hubungan ini juga berakibat buruk terhadap kesehatan fisik, psikologis, mental dan intelektual bagi anak-anak yang dilahirkan.

Kan 1091 $ 1 menegaskan: “Tidak sahlah perkawinan antara orang-orang yang berhubungan darah dalam garis keturunan ke atas dan ke bawah, baik legitim maupun alami”. Kan. 1091 $ 2 menegaskan bahwa dalam garis keturunan menyamping perkawinan tidak sah sampai dengan tingkat ke-4 inklusif.

(10) Hubungan Semenda / affinitas (Kan. 1092)

Hubungan semenda tercipta ketika dua keluarga saling mendekatkan batas-batas hubungan kekeluargaan lewat perkawinan yang terjadi antar anggota dari dua keluarga itu. Jadi, hubungan semenda muncul sebagai akibat dari suatu faktor ekstern (= ikatan perkawinan), bukan faktor intern (= ikatan darah).

Kan. 1092 menetapkan: “Hubungan semenda dalam garis lurus menggagalkan perkawinan dalam tingkat manapun”. Secara konkret, terhalang untuk saling menikah: a). antara menantu dan mertua [garis lurus ke atas tingkat 1], b). antara ibu dan anak tiri laki-laki, demikian juga sebaliknya antara bapak dan anak tiri perempuan.

(11) Kelayakan Publik (Kan. 1093)

Kelayakan publik muncul dari perkawinan yang tidak sah, termasuk hubungan kumpul kebo (konkubinat) yang diketahui umum. Menurut Kan. 1093 halangan nikah yang timbul dari kelayakan publik dibatasi pada garis lurus tingkat pertama antara pria dengan orang yang berhubungan darah dengan pihak wanita. Begitu juga sebaliknya.

(12) Hubungan Adopsi (Kan. 1094)

Anak yang diadopsi lewat adopsi legal memiliki status yuridis yang analog dengan status yuridis anak kandung. Kanon 1094 menyatakan: “Tidak dapat menikah satu sama lain dengan sah mereka yang mempunyai pertalian hukum yang timbul dari adopsi dalam garis lurus atau garis menyamping tingkat kedua.”


2. Adanya Konsensus atau Kesepakatan Nikah

a. Pengertian Konsensus

Konsensus (Kan 1057, $ 2) adalah perbuatan kemauan dengan mana pria dan wanita saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali.

b. Faktor Penyebab Tak Adanya Konsensus

Konsensus bisa cacat atau tidak ada sama sekali oleh faktor-faktor berikut:

(1) Ketidakmampuan psikologis (Kan. 1095)
(2) Tak ada pengetahuan yang cukup mengenai hakekat perkawinan (Kan. 1096)
(3) Kekeliruan mengenai pribadi (Kan. 1097)
(4) Penipuan (Kan. 1098)
(5) Kekeliruan mengenai sifat perkawinan dan martabat sakramental perkawinan (Kan. 1099)
(6) Simulasi (Kan. 1101): simulasi total; simulasi parsial (bonum prolis, bonum fidei, bonum sakramenti, bonum coniugum)
(7) Konsensus bersyarat (Kan. 1102)
(8) Paksaan dan ketakutan (Kan. 1103)

3. Dirayakan dalam “forma canonika” (Kan. 1108-1123)

“Forma canonica” atau tata peneguhan ialah bahwa suatu perkawinan harus dirayakan dihadapan tiga orang, yakni petugas resmi Gereja sebagai peneguh, dan dua orang saksi.

PERKAWINAN CAMPUR (Kan 1124-1129; 1086)

1. Pengertian

Perkawinan campur, yaitu perkawinan antara seorang baptis Katolik dan pasangan yang bukan Katolik (bisa baptis dalam gereja lain, maupun tidak dibaptis). Gereja memberi kemungkinan untuk perkawinan campur karena membela dua hak asasi, yaitu hak untuk menikah dan hak untuk memilih pegangan hidup (agama) sesuai dengan hati nuraninya.

Keyakinan Gereja tentang perkawinan sebagai sakramen dan dimungkinkannya perkawinan campur tidak boleh diartikan bahwa Gereja membedakan dua perkawinan, seakan-akan ada perkawinan kelas 1 dan kelas 2. Perkawinan yang sudah diteguhkan secar sah dan dimohonkan berkat dari Tuhan apapun jenisnya, semuanya berkenan di hadapan Tuhan. Semuanya dipanggil untuk memberi kesaksian akan kasih Kristus kepada manusia.

2. Dua Jenis Perkawinan Campur

Perkawinan campur beda gereja (seorang baptis Katolik menikah dengan seorang baptis non-Katolik) perkawinan ini membutuhkan ijin.

Perkawinan campur beda agama (seorang dibaptis Katolik menikah dengan seorang yang tidak dibaptis) untuk sahnya dibutuhkan dispensasi.

3. Persyaratan Mendapatkan Ijin atau Dispensasi

Pihak Katolik diwajibkan membuat janji yang berisi dua hal:

(1) Pihak Katolik berjanji untuk setia dalam iman Katoliknya.
(2) Pihak Katolik berjanji akan berusaha dengan serius untuk mendidik dan membaptis anak-anak yang akan lahir dalam Gereja Katolik. Janji ini acapkali menjadi salah satu permasalahan. Maka sangat dianjurkan untuk dibereskan dahulu, sehingga bisa diantisipasi.

4. Soal Larangan Nikah Ganda (Kan. 1127 $ 3)

Kita berhadapan dengan kenyataan: dalam perkawinan campur, tata peneguhan kanonik diwajibkan, sedangkan nikah ganda (peneguhan sebelum atau sesudah peneguhan Katolik masih diadakan peneguhan menurut agama lain) dilarang.

Kesan yang sering timbul dari pihak non-Katolik: Gereja Katolik mau menangnya sendiri, mengapa tidak “fifty-fifty”: baik menurut hukum agama Katolik di Gereja Katolik, maupun menurut agama yang lain. Tetapi justru ini dilarang Kan. 1127 $ 3 yang sering sulit dipahami pihak non-Katolik.

1. Dalam Pernikahan Beda Gereja

Terbuka perkawinan ekumenis di hadapan pelayan Katolik dan pendeta, kalau perlu bahkan dengan dispensasi dari tata peneguhan kanonik (bila pernyataan konsensus tidak diterima oleh pelayan Katolik). Maka perlu disepakati pembagian tugas yang jelas antara pelayan Katolik dan pendeta, misalnya firman dan berkat diserahkan kepada pendeta, sedangkan pelaksanaan tata peneguhan Katolik dipercayakan kepada pelayan Katolik, demi sahnya perkawinan.

2. Dalam Pernikahan Beda Agama

Terutama pihak non-Katolik dapat mempunyai keberatan, mungkin bahkan menurut hati nuraninya: sebelum menikah menurut agamanya, perkawinan tidak sah, dan hubungannya dirasakan sebagai zinah. Atau dapat juga terjadi bahwa fakta ini dipakai sebagai kesempatan untuk berpisah (menceraikan jodohnya) dengan alasan: belum menikah sah.

5. Pastoral Kawin Campur

Memang sudah banyak ajakan untuk meningkatkan pastoral perkawinan dan keluarga, tak hanya untuk tahap persiapan perkawinan yang hanya meliputi waktu yang amat pendek, melainkan terutama untuk tahap pasca-nikah yang meliputi hal-hal praktis seluruh hidup perkawinan. Namun demikian upaya-upaya itu kerapkali masih sporadis dan insidental, daripada gerakan yang melibatkan seluruh umat.

Dalam pandangan Gereja tentang kawin campur sudah disebut unsur-unsur (misalnya sehubungan dengan interaksi antara perkawinan dan agama) yang menggarisbawahi perlunya pastoral perkawinan dan keluarga pada umumnya, dan kawin campur pada khususnya.

Mengingat makna perkawinan dan keluarga, dibandingkan dengan upaya dan program pembinaan, apa yang diusahakan untuk mereka yang hidup berkeluarga masih amat kecil.

6. Kesulitan Pencatatan Sipil

Berlakunya UU perkawinan 1974 mengakibatkan tidak mudahnya mereka yang menikah dalam perkawinan campur untuk mendaptkan pengesahan sipil. Sering dijumpai tidak konsistennya petugas pencatatan sipil. Pasangan perkawinan campur tidak boleh menyerah dalam mengusahakan pengesahan secara sipil, apapun caranya.

7. Beberapa Catatan dan Harapan

Hal yang utama dalam perkawinan adalah kasih. Kasih yang selalu terikat pada pribadi. Perlu senantiasa mengusahakan berbagai hal yang menyatukan. De fakto dalam perkawinan campur ada perbedaan, namun membicarakan perbedaan tidaklah berguna bahkan menimbulkan kerenggangan. Senantiasa yakin akan pemeliharaan dan penyertaan Tuhan.

* Previlegi Paulinum (Kan. 1143-1147; 1150). Untuk memutuskan ikatan perkawinan dengan memakai Previlegi Paulinum demi iman pihak yang dibaptis, prinsip dasarnya ialah:
a). Pada awalnya perkawinan itu dilangsungkan oleh dua orang yang tidak dibaptis;
b). Kemudian salah satu pihak dibaptis;
c). pihak non-baptis tidak lagi ingin hidup bersama atau pergi;
d). demi sahnya perkawinan baru dari pihak baptis, maka pihak non-baptis itu diinterpelasi tentang apakah ia juga mau dibaptis, apakah ia masih mau hidup bersama dengan pihak yang dibaptis secara damai. Jika dirasa interpelasi tidak berguna, maka ordinaries wilayah dapat memberi dispensasi.

** Tidak termuat dalam KHK tapi dalam “Instruksi Ut Notum Est” untuk Pemutusan Perkawinan demi Iman. Previlegi Iman ini dapat dirumuskan sebagai berikut: “bahwa perkawinan yang diteguhkan antara pihak baptis non-Katolik dengan pihak non-baptis, atau antara pihak Katolik dengan pihak non-baptis yang diteguhkan dengan dispensasi dari halangan perkawinan beda agama (disparitas cultus), dapat diputus oleh tahta suci karena alasan yang kuat terutama demi iman”.

* Vikaris Yudisial Keuskupan Surabaya.
(sumber:http://www.indocell.net/yesaya/pustaka2/id302.htm)

Pedoman Biblis Perkawinan

oleh: P. H.T. Burke

Tujuan Perkawinan: Persatuan Penuh Cinta (Kasih) dan Pembiakan (Hidup)

Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu….” TUHAN Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.” Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging (Kejadian 1:27-28, 2:18-24).

Anak-anak adalah Berkat


Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN, dan buah kandungan adalah suatu upah. Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda. Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia berbicara dengan musuh-musuh di pintu gerbang (Mazmur 127:3-5).

Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan mendoakan mereka; akan tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu. Tetapi Yesus berkata: “Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga.” Lalu Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan kemudian Ia berangkat dari situ (Matius 19:13-15).

Maka bangkitlah amarah Yakub terhadap Rahel dan ia berkata: “Akukah pengganti Allah, yang telah menghalangi engkau mengandung?” (Kejadian 30:2). (Lihat juga: Kejadian 4:1,25,5:29,17:16,29:32-35,30:1,6, Amsal 17:6, Mazmur 128).

Kontrasepsi adalah Dosa Terhadap Perkawinan

Lalu Boas mengambil Rut dan perempuan itu menjadi isterinya dan dihampirinyalah dia. Maka atas karunia TUHAN perempuan itu mengandung, lalu melahirkan seorang anak laki-laki (Rut 4:13).

Lalu berkatalah Yehuda kepada Onan: “Hampirilah isteri kakakmu itu, kawinlah dengan dia sebagai ganti kakakmu dan bangkitkanlah keturunan bagi kakakmu.” Tetapi Onan tahu, bahwa bukan ia yang empunya keturunannya nanti, sebab itu setiap kali ia menghampiri isteri kakaknya itu, ia membiarkan maninya terbuang, supaya ia jangan memberi keturunan kepada kakaknya. Tetapi yang dilakukannya itu adalah jahat di mata TUHAN, maka TUHAN membunuh dia juga (Kejadian 38:8-10). Catatan: Tuhan membunuh Onan karena kontrasepsi, bukan karena ia menolak membangkitkan keturunan bagi saudaranya, sebab hukuman untuk ini amat jauh dari maut seperti kita lihat dalam Ulangan 25:5-10.

Perkawinan yang Tak Terceraikan


Dan inilah yang kedua yang kamu lakukan: Kamu menutupi mezbah TUHAN dengan air mata, dengan tangisan dan rintihan, oleh karena Ia tidak lagi berpaling kepada persembahan dan tidak berkenan menerimanya dari tanganmu. Dan kamu bertanya: “Oleh karena apa?” Oleh sebab TUHAN telah menjadi saksi antara engkau dan isteri masa mudamu yang kepadanya engkau telah tidak setia, padahal dialah teman sekutumu dan isteri seperjanjianmu. Bukankah Allah yang Esa menjadikan mereka daging dan roh? Dan apakah yang dikehendaki kesatuan itu? Keturunan ilahi! Jadi jagalah dirimu! Dan janganlah orang tidak setia terhadap isteri dari masa mudanya. Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel - juga orang yang menutupi pakaiannya dengan kekerasan, firman TUHAN semesta alam. Maka jagalah dirimu dan janganlah berkhianat! (Maleakhi 2:13-16).

Maka datanglah orang-orang Farisi, dan untuk mencobai Yesus mereka bertanya kepada-Nya: “Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan isterinya?” Tetapi jawab-Nya kepada mereka: “Apa perintah Musa kepada kamu?” Jawab mereka: “Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai.” Lalu kata Yesus kepada mereka: “Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu. Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Ketika mereka sudah di rumah, murid-murid itu bertanya pula kepada Yesus tentang hal itu. Lalu kata-Nya kepada mereka: “Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu. Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah” (Markus 10:2-12).

Kepada orang-orang yang telah kawin aku - tidak, bukan aku, tetapi Tuhan - perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya. Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya (1 Korintus 7:10-11, lihat juga Korintus 7:39, Rom.7:1-3).

Kewajiban Perkawinan


Tetapi mengingat bahaya percabulan, baiklah setiap laki-laki mempunyai isterinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri. Hendaklah suami memenuhi kewajibannya terhadap isterinya, demikian pula isteri terhadap suaminya. Isteri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi isterinya. Janganlah kamu saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa. Sesudah itu hendaklah kamu kembali hidup bersama-sama, supaya Iblis jangan menggodai kamu, karena kamu tidak tahan bertarak (1 Korintus 7:2-5).

Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela. Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat, karena kita adalah anggota tubuh-Nya. Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat. Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya (Efesus 5:22-33, lihat juga 1 Korintus 7:27-38, Kolose 3:18).

Isteri yang Baik adalah Karunia


Rumah dan harta adalah warisan nenek moyang, tetapi isteri yang berakal budi adalah karunia TUHAN (Amsal 19:14, 18:22).

Isteri yang cakap siapakah akan mendapatkannya? Ia lebih berharga dari pada permata. Hati suaminya percaya kepadanya, suaminya tidak akan kekurangan keuntungan. Ia berbuat baik kepada suaminya dan tidak berbuat jahat sepanjang umurnya… Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia, tetapi isteri yang takut akan TUHAN dipuji-puji (Amsal 31).

Suami Diberkati Melalui Isterinya

Diberkatilah kiranya sendangmu, bersukacitalah dengan isteri masa mudamu: rusa yang manis, kijang yang jelita; biarlah buah dadanya selalu memuaskan engkau, dan engkau senantiasa berahi karena cintanya (Amsal 5:15-19).

Nikmatilah hidup dengan isteri yang kau kasihi seumur hidupmu yang sia-sia, yang dikaruniakan TUHAN kepadamu di bawah matahari, karena itulah bahagianmu dalam hidup dan dalam usaha yang engkau lakukan dengan jerih payah di bawah matahari (Pengkhotbah 9:9, Ulangan 24:5, 1 Petrus 3:7).

Yang Beriman Menguduskan Pasangannya yang Tak Beriman

Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh isterinya dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya (1 Korintus 7:14-16).

Percabulan (Seks Pra-nikah) adalah Dosa Terhadap Kemurnian dan Perkawinan

Hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur, sebab orang-orang sundal dan pezinah akan dihakimi Allah (Ibrani 13:4, lihat juga Efesus 5:5, Galatia 5:16-24, Wahyu 22:14-15, 1 Korintus 6:15-20).

sumber : “A Scriptual Guide to Marriage” Written by Rev. H.T. Burke; Father Peffley's Web Site; www.transporter.com/fatherpeffley “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Fr. Francis J. Peffley.”

RENCANA KESELAMATAN ALLAH

Katekismus Gereja Katolik

Kitab Suci mulai dengan penciptaan pria dan wanita menurut citra Allah dan berakhir dengan visiun “perjamuan kawin Anak Domba” (Why 19:7.9). Dari halaman pertama sampai halaman terakhir Kitab Suci berbicara tentang Perkawinan dan “misterinya”, tentang penetapan dan artinya, yang Allah berikan kepadanya, tentang asal dan tujuannya, tentang pelaksanaannya yang berbeda-beda dalam seluruh proses sejarah keselamatan, tentang kesulitan yang timbul dari dosa dan pembaharuan “dalam Tuhan” (1Kor 7:39) dalam Perjanjian Baru Kristus dan Gereja.

Para nabi melukiskan perjanjian Allah dengan Israel dengan gambar cinta perkawinan yang eksklusif dan setia, dan dengan demikian membawa keyakinan umat terpilih ke suatu pengertian yang lebih dalam mengenai ketunggalan dan ketakterceraian Perkawinan. Kitab Rut dan Tobit menampilkan contoh yang mengharukan mengenai pandangan mulia tentang Perkawinan, tentang persatuan yang setia dan mesra antara suami isteri. Tradisi selalu melihat di dalam Kidung Agung satu pernyataan bagus mengenai cinta manusiawi sebagai pancaran murni cinta Allah, satu cinta yang “kuat seperti maut” dan “juga air yang banyak … tidak dapat memadamkannya” (Kid 8:6-7).

Perjanjian perkawinan antara Allah dan umat-Nya Israel telah mempersiapkan perjanjian yang baru dan abadi. Dalam Perjanjian ini Putra Allah dalam penjelmaan-Nya menjadi manusia dan dalam penyerahan hidup-Nya boleh dikatakan mempersatukan diri dengan seluruh umat manusia yang diselamatkan-Nya dan dengan demikian mempersiapkan “Perkawinan Anak Domba” (Why 19:7.9).

Pada awal hidup-Nya di muka umum Yesus melakukan - atas permohonan ibu-Nya - mukjizat yang pertama pada suatu pesta perkawinan. Gereja menganggap kehadiran Yesus pada pesta perkawinan di Kana itu suatu hal penting. Ia melihat di dalamnya suatu penegasan bahwa perkawinan adalah sesuatu yang baik, dan pernyataan bahwa mulai sekarang perkawinan adalah suatu tanda tentang kehadiran Kristus yang berdaya guna.

Seluruh kehidupan Kristen diwarnai cinta mempelai antara Kristus dan Gereja. Pembaptisan, langkah masuk ke dalam Umat Allah, sudah merupakan satu misteri mempelai; ia boleh dikatakan “permandian perkawinan”, yang mendahului perjamuan perkawinan, Ekaristi. Perkawinan Kristen menjadi tanda yang berdaya guna, Sakramen perjanjian antara Kristus dan Gereja. Karena ia menandakan dan membagikan rahmat-Nya, maka perkawinan antara mereka yang dibaptis adalah Sakramen Perjanjian Baru yang sebenarnya.(Dikutip dari: Yesaya.indocell.net)

CINTA DAN PERKAWINAN

Suatu hari, Plato bertanya kepada gurunya, “Apa itu cinta? Bagaimana saya bisa mendapatkannya?”

Gurunya menjawab, “Ada ladang gandum terbentang luas di depan sana. Berjalanlah maju tanpa boleh berbalik atau mundur kembali. Jika kamu menemukan satu berkas yang menurutmu paling mengagumkan, ambillah. Itu artinya engkau telah menemukan cinta.”

Plato berjalan menyusuri ladang gandum dan akhirnya kembali dengan tangan kosong. Gurunya bertanya, “Mengapa engkau tidak membawa satu berkas pun?” Plato menjawab, “Sebab saya hanya boleh membawa satu berkas saja, dan pada waktu berjalan tidak boleh berbalik ataupun mundur kembali. Sebenarnya saya telah menemukan satu berkas yang paling mengagumkan, tetapi saya tak tahu apakah ada berkas yang lebih mengagumkan lagi di depan sana, jadi tidak saya ambil berkas tersebut. Ketika saya melanjutkan perjalanan lebih jauh, baru saya sadari bahwa berkas-berkas yang saya dapati kemudian tidak sebagus berkas yang tadi. Jadi pada akhirnya saya tidak mengambil satu berkas pun.”

Gurunya menjawab, “Ya itulah cinta.”

Di lain waktu, Plato bertanya pula kepada gurunya, “Apa itu perkawinan? Bagaimana saya bisa mendapatkannya?”

Gurunya menjawab, “Ada hutan yang subur lebat terbentang di depan sana. Berjalanlah maju tanpa boleh berbalik atau mundur kembali. Jika kamu menemukan satu pohon yang menurutmu paling elok, tebanglah. Itu artinya engkau telah menemukan perkawinan.”

Plato berjalan, dan kemudian kembali dengan membawa sebatang pohon. Pohon yang dibawanya bukanlah pohon yang teramat elok, segar dan rimbun, tidak juga yang paling tinggi; melainkan biasa-biasa saja.

Gurunya bertanya, “Mengapa kamu menebang pohon macam itu?” Plato pun menjawab,

“Sebab, berdasarkan pengalaman sebelumnya, setelah menjelajah seluruh hutan, ternyata nantinya saya akan kembali dengan tangan kosong. Jadi, ketika saya melihat pohon ini, saya pikir ia cukup baik dan saya menyukainya, maka saya putuskan untuk menebangnya dan membawanya ke sini. Saya tak hendak kehilangan kesempatan untuk mendapatkannya.”

Gurunya pun menjawab, “Dan ya itulah perkawinan.”
(Dikutip dari: http://yesaya.indocell.net)