Senin, 23 Februari 2009

BIAYA PELAYANAN CATATAN SIPIL

KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI
TENTANG
BIAYA PELAYANAN CATATAN SIPIL
(MULAI 1 APRIL 1993)


Biaya Pencatatan Perkawinan
  1. Biaya pencatatan perkawinan WNI pada hari kerja di kantor Catatan Sipil, sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah)
  2. Biaya pencatatan perkawinan WNI di luar Kantor sebesar Rp. 25.000,- (dua puluh lima ribu rupiah).
  3. Biaya pencatatan perkawinan WNA di dalam Kantor sebesar Rp. 25.000,- (dua puluh lima ribu rupiah).
  4. Biaya pencatatan perkawinan WNA di luar Kantor sebesar Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah).

Bagi pencatatan perkawinan yang melebihi jangka waktu satu bulan sejak tanggal pengesahan perkawinan menurut agama dikenakan biaya:

  1. Untuk WNI di dalam kantor Rp. 20.000,- (dua puluh ribu rupiah) di luar kantor Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah).
  2. Untuk WNA di dalam kantor Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah).

Biaya Kutipan Akta Perkawinan

  1. Biaya Kutipan Akta Perkawnan untuk WNI (satu set untuk suami istri) sebesar Rp. 4.000,- (empat ribu rupiah) sedang untuk WNA sebesar Rp. 15.000,- (lima belas ribu rupiah).
  2. Biaya Kutipan Akta perkawinan kedua dan seterusnya (satu set untuk suami dan istri) untuk WNI sebesar Rp. 8.000,- (delapan ribu rupiah) dan untuk WNA sebesar Rp. 30.000,- (tiga puluh ribu rupiah).
  3. Biaya salinan Akta Perkawinan WNA sebesar Rp. 30.000,- (tiga puluh ribu rupiah) sedang untuk WNA sebesar Rp. 60.000,-

Akta Perceraian

  1. Biaya pencatatan dan penerbitan kutipan Akta Perceraian (satu set) WNI sebesar Rp. 25.000,- (dua puluh lima ribu rupiah). Untuk WNA sebesar Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah).
  2. Untuk pencatatan perceraian yang melibihi jangka waktu satu bulan sejak tanggal Keputusan Pengadilan Negeri yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dikenakan biaya bagi WNI sebesar Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) sedang untuk WNA Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).


Kutipan Akta Kelahiran
Biaya kutipan Akta Kelahiran
Untuk WNI:

  1. Anak pertama dan kedua, sebesar Rp. 4.000,- (empat ribu rupiah)
  2. Anak ketiga dan seterusnya: Rp. 8.000,- (delapan ribu rupiah)

Untuk WNA:

  1. Anak pertama dan kedua: Rp. 15.000,- (lima belas ribu rupiah)
  2. Anak ketiga dan seterusnya: Rp. 30.000,- (tiga puluh ribu rupiah)

Biaya Salinan Akta Kelahiran:

  1. Untuk WNI sebesar Rp. 25.000,- (dua puluh lima ribu rupiah)
  2. Untuk WNA sebesar Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah)
  3. Biaya pencatatan dan penerbitan kutipan Akta Pengakuan Anak untuk WNI sebesar Rp. 25.000,- (dua puluh lima ribu rupiah) sedang untuk WNA Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah)
  4. Biaya pencatatan Pengesahan Anak untuk WNI sebesar Rp. 25.000,- (dua puluh lima ribu rupiah) dan untuk WNA sebesar Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah)
  5. Biaya pencatatan Pengangkatan Anak untuk WNI sebesat Rp. 25.000,- (dua puluh lima ribu rupiah) sedang untuk WNA sebesar Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah)

Akta Kematian

  1. Biaya pencatatan dan penerbitan Akta Kematian WNI sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) sedangkan untuk WNA sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah).
  2. Biaya salinan Akta Kematian untuk WNI sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) dan untuk WNA sebesar Rp. 20.000,- (dua puluh ribu rupiah).

    Lain-lain
    Biaya penerbitan Surat Keterangan Catatan Sipil untuk WNI sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) sedangkan untuk WNA Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah)
    Biaya pencatatan perubahan nama sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah)
    Semua biaya tersebut masih ditambah biaya ‘leges’ (meterai) sebesar Rp. 500,- (lima ratus rupiah). (Sumber: Membangun Keluarga Kristiani, Gilarso,SJ).

EKONOMI RUMAH TANGGA

Ekonomi rumah tangga merupakan suatu segi kehidupan umat, suatu upaya untuk mengembangkan pribadi para anggotanya, yang harus menunaikan panggilannya demi penyelamatan manusia dan pengudusan dunia. Ekonomi rumah tangga bukanlah tujuan melainkan sarana yang (harus) menunjang dan memungkinkan penghayatan iman. Sebab kita yakin, bahwa tugas mengembangkan umat manusia menjadi umat Allah yang bahagia dan sejahtera dilaksanakan oleh Roh kudus dengan dan melalui usaha kita sendiri.

Ini berarti kita tidak boleh melarikan diri dari penderitaan ekonomi, atau hanya mengharapkan suatu mukzijat saja (tanpa berkerja keras), tetapi kita harus menyadari bakat-bakat serta kemampuan (talenta) kita dan sanggup mengembangkannya untuk meningkatkan kehidupan kita, dengan mencurahkan pikiran serta tenaga, dengan memanfaatkan kesempatan dan menggunakan kemampuan material yang ada pada kita. Dan kita harus menjalankan ini semua dalam penghayatan iman. Inilah jawaban kita terhadap karya penciptaan Tuhan. Demikianlah kita mengembangkan pribadi sepenuhnya, untuk memuliakan nama Tuhan.

Salah satu upaya pokok untuk membangun ekonomi rumah tangga adalah usaha untuk menghasilkan sesuatu, dengan kata lain usaha-usaha yang sungguh produktif. Ini tidak berarti hanya sekedar memanfaatkan ciptaan Tuhan melainkan juga melanjutkan, mengolahnya, serta menyempurnakannya. Dari usaha itu sekaligus orang mendapatkan penghasilan yang layak dan masyarakat pada umumnya pun menerima manfaat bagi kemajuannya.

Secara istimewa perlu diusahakan peningkatan dan penyehatan kebiasaan-kebiasaan mengenai pengaturan rumah tangga. Para wanita dan ibu-ibu, tak terkecuali para suami, sangat berperan dalam perkembangan keluarga, khususnya dalam tatalaksana sosial-ekonomi dan keuangan keluarga. Uang saja tidak akan memperbaiki nasib keluarga. Orangtua harus mampu memanfaatkan uang dan modal secara efisien dan produktif, demi kebahagiaan jasmani dan rohani.

Pengembangan pribadi manusia sepenuhnya menuntut seseorang untuk mengelola penghasilan yang diperoleh bagi rumah tangganya. Memenuhi kebutuhan-kebutuhan kongkret hidupnya serta kepentingan masyarakat di sekitarnya adalah suatu bukti nyata bahwa seseorang menghayati imannya. Demikianlah umat dihindarkan dari kecenderungan hanya mau memenuhi kebutuhan-kebutuhan tanpa mengembangkan diri, dengan kata lain: melulu mengikuti keinginan-keinginan yang serba dangkal.
Maka hendaknya kita berusaha membiasakan umat hidup secara berencana dengan memperhitungkan hari depan. Mudah-mudahan rakyat kita membiasakan diri hidup secara hemat dan belajar menabung.

Dengan cara demikian, keluarga dapat berdiri sebagai rumah tangga yang mampu memenuhi hak serta kewajibannya; dapat hidup secara bebas dan bertanggungjawab; bukan sebaliknya serba ketergantungan pada orang lain.
Usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rumah tangga sering dihambat atau bahkan digagalkan karena hal-hal yang diluar kekuasaan keluarga sendiri. Misalnya kewajiban adat/kebiasaan yang merugikan keluarga. Kebiasaan untuk mengadakan pesta (tak mau kalah dengan tetangga), keharusan membiayai anggota keluarga yang lemah ekonominya, prkatik sumbangan-sumbangan wajib dan sebagainya. Tidak jarang itu semua merupakan paksaan yang sukar dielakkan atau dilawan. Juga dari pihak ekonomi besar (prakti-praktik pemasaran dan persaingan dan sebagainya) dan dari pihak pemerintah (impor, pabean, pajak, berbagai penyelewengan dan sebagainya) kadang-kadang timbul hambatan yang dapat melumpuhkan ekonomi rumah tangga.

Dalam perjuangan untuk mengatasi hambatan-hambatan itu dibutuhkan sikap tegas, usaha terus menerus, usaha tekun daya tahan dan kesabaran, dan terutama kerjasama, baik dalam usaha-usaha bersama maupun dalam ikatan sebagai umat beriman (wilayah, stasi, paroki, keuskupan). Sikap terbuka serta kesediaan berkerja sama tidak hanya dianjurkan antara orang-orang perorangan, melainkan juga antara rumah tangga satu sama lainnya, bahkan dengan masyarakat umum di sekitarnya.

Jelas pula kiranya, bahwa dalam pembinaan ekonomi rumah tangga, organisasi-organisasi umat yang ada dapat ikut serta melalui berbagai kesempatan atau kegiatan. Misalnya persatuan umat dalam wilayah, atau kring dalam paroki, Wanita Katolik, Kongregasi-kongregasi orangtua, muda-mudi, Legio Maria, Pemuda Katolik, dsb. Lembaga-lembaga ini dapat memberi petunjuk-petunjuk serta teladan kepada umat dan kepada masyarakat pada umumnya; dan menjelaskan bahwa karya penyelamatan Tuhan berlangsung juga melalui cara-cara mengatur dan menjalankan ekonomi rumah tangga sehari-hari.

Semoga berkat rahmat Tuhan, diterangi oleh cahaya iman, tetapi juga berkat jerih payah kita sendiri, keluarga-keluarga kita makin sejahtera, rohani maupun jasmani. Semoga dengan demikian makin sempurna pula pengabdian sekaligus kesaksian kita umat beriman, ditengah masyarakat Indonesia yang sedang membangun. (Pedoman Pastoral keluarga MAWI 1975).

PENGHAYATAN IMAN DALAM KELUARGA

Untuk membina penghayatan iman dalam lingkungan keluarga, syarat pertama adalah adanya suasana kristiani dan komunikasi dalam keluarga, yang didasarkan atas persekutuan cinta suami istri, dengan pasrah diri, saling menghormati, saling menerima, saling menyempurnakan, menuju kesatuan hati, setia sampai mati.
Kepada anak perlu diberi perhatian, kehangatan dan cinta, sehingga anak-anak kerasan di rumah. Untuk itu perlu dibina adanya kemesraan antara ayah, ibu dan anak-anak.
Ayah ibu hendaknya ikut serta membina penhayatan iman anak-anak dan ikut berperanan dalam peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan anak seperti: pembaptisan, belajar berdoa, persiapan Komuni Pertama, pendidikan seks, sakramen Penguatan, masuk sekolah, lulus ujian, jatu sakit, hari ulang tahun, dsb.


Suasana kristiani dalam keluarga juga harus mewujudkan nilai-nilai iman Katolik: berdoa bersama setiap hari, khususnya doa malam bersama dan pada kesempatan-kesempatan tertentu seperti sakit, ujian, hari ulang tahun, dsb. Kalau dapat ada ya g ikut perayaan Ekaristi sebagai wakil keluarga. Demikian pula teladan sikap kristiani dalam hidup sehari-hari di masyarakat, misanya adil terhadap pembantu, pendirian tegas mengenai penindasan, diskriminasi, penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, perceraian, main judi, dsb.
Orangtualah yang pertama-tama bertugas menanamkan pengertian dan pegetahuan agama dalam hati anaknya. Pendidikan agama di dalam keluarga hendaknya dilengkapi dengan pelajaran agama di sekolah dan di lingkungan atau paroki.

Sangat dianjurkan membaca Kitab Suci di dalam lingkungan keluarga dan disertai dengan sekedar penjelasan dan disusul doa spontan dan sharing iman. Untuk itu dapat dicari waktu-waktu atau kesempatan-kesempatan tertentu (misalnya natal, paskah, Pentekosta, komuni Pertama, dst).

Suasana terbuka antara orangtua dan anak (yang sudah mulai dewasa) hendaknya tetap dibina dengan adanya dialog terbuka antara orangtua dan anak mengenai segala soal-soal yang menarik perhatian mereka, tanpa adanya ‘tabu’. Misalnya tentang pergaulan, seks, pekerjaan, sekolah, dsb. Suasana seperti itu pulalah yang akan dapat membina timbulnya panggilan iman.
(PEDOMAN PASTORAL KELUARGA – MAWI 1973)

Minggu, 22 Februari 2009

PHOTO PERSIAPAN UNTUK CETAK UNDANGAN



PHOTO - PHOTO PERSIAPAN NIKAH



Persiapan yang tidak kalah pentingnya adalah pembuatan undangan. Memang banyak tersedia di pasar undangan yang sudah jadi dan siap pakai. Akan tetapi tentu saja photo kita tidak ditampilkan. Untuk menambah nilai seni dalam hidup tidak ada salahnya jika undangan kita buat dengan menggunakan koleksi photo persiapan nikah kita sendiri.


Saya merasa perlu untuk membuat undangan dengan menggunakan tampilan yang cantik dan menarik dari koleksi photo pribadi. Untuk mendapatkan hasil jepretan yang bagus cukup banyak studio photo yang bisa saya pilih. Maka saya memilih Hawai Photo Studio yang saya percaya untuk mengabadikan persiapan pernikahan saya secara dekat. dan inilah hasilnya.






PERKAWINAN SUATU SAKRAMEN



Karena masih banyak orang kurang begitu paham apa arti “sakramen”, di bawah ini icantumkan sekedar penjelasan tentang arti sakramen dan apa artinya kalau umat Katolik menyebut perkawinan sebagai suatu sakramen.
Arti Sakramen

Untuk dapat memahami apa arti sakramen, baiklah kita berpangkal pada cerita “Tono dan Tini” berikut ini:
Tono sudah lama berpacaran dengan Tini dan mereka sudah merencanakan akan menikah. Tetapi pada suatu hari, Tono mendapat panggilan untuk tugas belajar ke luar negeri, dengan syarat harus masih bujangan. Tono menerima tugas tersebut dengan berat hati, karena menyadari bahwa Tini tentu akan kecewa.
Sebagai peghibur hati kekasihnya, maka sebelum berangkat Tono memberikan sesuatu bingkisan kecil kepada Tini disertai pesan: “Jangan khawatir, Dik, aku akan segera kembali. Aku akan tetap mencintaimu dan akan tetap setia kepadamu. Engkau pun kuharapkan demikian, aku selalu ada dalam hatimu dan engkau tetap setia kepadaku. Untuk itu, aku tinggalkan untukmu suatu tanda mata sebagai kenang-kenangan. Apabila engkau rindu kepadaku, lihatlah fotoku, lihatlah fotoku ini yang kuberikan kepadamu, dan kenakanlah syal ini pada lehermu sebagai pengganti tanganku. Dan simpanlah surat ini sebagai pengganti diriku. Yang penting percayalah padaku, percayalah bahwa meskipun jauh, aku akan kembali kepadamu, karena aku sungguh cinta padamu”.
Walau dengan berat hati, tini mau percaya pada Tono dan dengan ikhlas hati melepaskan Tono untuk tugas belajar. Tini menerima bingkisan dari Tono itu sebagai tanda mata dan tanda cinta antara mereka berdua, sehingga mereka tetap dapat dekat di hati.
Tiap kali Tini merasa rindu kepada Tono, ia memandang foto kekasihnya dan menggunakan syal di lehernya seperti pesan Tono dulu. Pada saat itu Tini seperti mendengar pesan lagi pesan Tono kepadanya; percayalah kepadaku, aku akan kembali kepadamu, karena aku sangat cinta padamu. Meskipun secara fisik jarak antara mereka itu sangat jauh, namun mereka tetap dekat di hati dan merasa selalu ada ikatan dan hubungan satu sama lain.

Dengan contoh diatas, jelaslah bahwa meskipun jarak berjauhan namun hubungan mereka tetap dekat karena adanya tanda mata atau tanda cinta itu. Tanda mata atau tanda cinta itu sesuatu yang kelihatan (dapat dilihat, dapat diraba) tetapi sekaligus menampakkan sesuatu yang tidak kelihatan, yaitu cinta kasih dan hubungan pribadi antara mereka. Dengan demikian, tanda mata tersebut menjadi sarana yang menghubungkan dan mempersatukan mereka berdua. Dengan istilah modern dapat dikatakan: menjadi alat komunikasi yang menyebabkan mereka berdua dapat bertemu dan dapat bersatu.
Ada hal lain lagi yang juga jelas dari kisah di atas. Tanda mata dari Tono kepada Tini itu hanya berarti bagi Tini, karena di antara mereka sudah ada hubungan cinta. Tanda mata tersebut mengungkapkan dan menyatakan cinta dan hubungan batin yang sudah ada. Maka, bingkisan dan surat yang ditujukan kepada Tini sungguh berarti bagi Tini – tetapi sangat mungkin tidak ada artinya sama sekali bagi orang lain. Syal itu yang bagi Tini dirasakan sebagai tangan Tono sendiri yang merangkulnya, tetapi bagi teman-teman Tini mungkin tidak lebih dari sehelai kain belaka atau bahkan dianggap hanya sebagai gombal.
Mengapa demikian? Karena Tini dapat melihat arti di balik tanda mata tersebut; karena Tini mencintai Tono dan percaya akan kata-kata Tono, sedangkan teman-temannya tidak. Seandainya Tini tidak percaya akan kata-kata Tono, mungkin ia juga akan menganggap syal itu sebagai gombal saja yang tak ada artinya. Tetapi justru karena Tini percaya dan cinta kepada Tono, tanda mata itu punya arti yang sangat besar dalam hidupnya, yaitu mengingatkan Tini akan Tono dan membuatnya tabah dan tenang dalam menghadapi tantangan-tantangan hidupnya.

Sakramen tanda cinta Tuhan kepada umat-Nya

Pengertian sakramen itu kurang lebih sama dengan yang dipaparkan di atas. Sakramen yaitu tanda mata atau tanda cinta dari Tuhan kepada manusia. Dengan tanda itu, tuhan mau menyatakan bahwa Ia sungguh mencintai manusia. Sebenarnya, dari banyak hal dalam kehidupan kita, dapat kita ketahui bahwa Tuhan mencintai kita. Dialah sumber segala kehidupan; Dialah sumber segala bakat dan kemampuan kita. Dan meskipun kita berdosa, Tuhan masih mau memberikan pengampunan atas segala dosa kita. Kedatangan Kristus di dunia ini dan wafat-Nya di kayu salib itulah bukti betapa besar cinta kasih Allah kepada kita. Namun, kehadiran dan kasih Tuhan itu tidak kelihatan secara fisik.
Justru oleh karena itu, Tuhan mau menampakkan kehadiran-Nya dalam hidup kita melalui tanda-tanda yang tampak dan kngkret yakni yang kita sebut ‘sakramen’. Setiap sakramen adlah tanda kehadiran Tuhan dan sarana dalam tangan Tuhan untuk menghubungi manusia, agar kita selalu dekat pada-Nya dan merasa dicintai oleh-Nya.
Tetapi, agar kita menyadari dan menangkap bahwa tanda itu adalah tanda cinta Tuhan, kita harus percaya kepada Tuhan. Sebab, orang yang tidak percaya kepada Tuhan akan sulit untuk menangkap bahwa tanda itu adalah tanda cinta Tuhan. Misalnya, bagi orang yang tidak percaya kepada Kristus, upacara pembaptisan, perayaan Ekaristi dan komuni suci itu tidak punya arti apa-apa. Mengapa kita menghormati komuni kudus? Karena kita percaya kepada Kristus. Mengapa kita minta dibaptis? Karena kita mennangkap arti di belakang upacara baptis itu. Dan mengapa kita percaya bahwa perkawinan itu juga suatu sakramen? Karena kita percaya kepada Kristus.

Tanda kehadiran Tuhan dalam Sakramen Perkawinan

Dalam beberapa sakramen, tanda kehadiran Tuhan itu diwujudkan dengan suatu perbuatan (upacara) yang dapat dilihat, didengar, dirasakan; dengan menggunakan barang-barang material (air baptis, minyak suci, roti, anggur, penumpangan tangan, dsb). Nah, sekarang dimanakah kehadiran Tuhan dalam Sakramen Perkawinan?
Dalam Sakramen Perkawinan, tanda kehadiran Tuhan yang mencintai umat-Nya diwujudkan secara khsus yaitu tidak melalui barang mati saja, melainkan melalui manusia sendiri. Intisari upacara Sakramen Perkawinan adalah janji setia (sumpah) yang diucapkan oleh kedua mempelai di hadapan imam dan para saksi. Sekali mereka dipersatukan oleh Allah dengan saling menerimakan Sakramen Perkawinan, Tuhan menetapkan manusia pria untuk menjadi tanda cinta-Nya bagi si wanita, dan Tuhan mengangkat manusia wanita untuk menjadi tanda cinta-Nya bagi si pria. Sama seperti roti dan anggur dalam Ekaristi menjadi alat dalam tangan Tuhan untuk menampakkan kehadiran-Nya, demikian pula pria dan wanita, sebagai suami istri menjadi alat dalam tangan Tuhan untuk menampakkan kebaikan-Nya da semakin mendekatkan hidup mereka kepada Tuhan.
Maka, karena iman itu, seorang suami akan memandang istrinya tidak hanya sebagai teman hidup saja, melainkan juga sebagai uluran tangan Tuhan yang mau mengasihi dirinya. Demikian pula karena imannya, seorang istri dapat memandang suaminya sebagai karunia Tuhan yang mau mengangkat hidupnya menuju kebahagiaan sejati. “hai para suami, kasihilah istrimu, sama seperti Kristus telah mengasihi umat-Nya. Hai para istri, kasihilah suamimu, sama seperti umat mengasihi kepada Kristus”. Maka perkawinan bukan hanya perkara sosial, psikologi, biologis, dan ekonomis, tetapi juga soal agama dan kerohanian; bukan hanya perkara manusiawi tetapi juga suatu lembaga keselamatan karena Tuhan sendiri mau terlibat di dalamnya.
Ciri pernikahan kristiani adalah setia seumur hidup. Kongkretnya ini berarti satu dengan satu (monogami) dan tak terceraikan. Jelas ini anugerah Tuhan; tetapi sekaligus juga suatu tuntutan dan tugas (istilah kita: suatu panggilan) yang berat sehingga sering dikatakan terlalu berat dan kurang realistis. Tetapi karena daya sakramen perkawinan, suami istri juga diberi kekuatan dan bantuan rahmat agar dapat melaksanakan segala tugas yang berkaitan dengan status mereka sebagai suami istri dan sebagai orangtua bagi anak-anak mereka.
Tanda dan saluran rahmat Tuhan dalam sakramen perkawinan itu tidak hanya dimaksudkan untuk suami istri yang bersangkutan saja tetapi juga untuk seluruh umat. Kesatuan, kerukunan, kesejolian, kesepasangan, kesetiaan, saling pengertian, dan cinta antara suami dan istri itu juga menjadi tanda kasih setia dan rahmat Allah bagi umat-Nya. Sama seperti Tuhan selalu setia akan janji-Nya dan selalu rela mengampuni dosa-dosa kita, demikian pula suami selalu setia kepada istrinya dan rela mengampuni segala apa yang telah terjadi. Sekaligus kasih setia suami istri menjadi tanda bagi umat yang mengingatkan kita akan kesetiaan dan kasih Allah terhadap kita. Bahkan dalam masyarakat kita setiap keluarga yang rukun dan stabil sudah menjadi suatu pertanda dan panutan bagi lingkungannya. Sebaliknya juga pasangan suami istri membutuhkan umat yang mendukung dan mendampingi agar tetap setia satu sama lain.

Juga bagi seluruh umat

Tanda dan saluran rahmat Tuhan dalam sakramen perkawinan itu tidak hanya dimaksudkan untuk suami istri yang bersangkutan saja, tetapi juga untuk seluruh umat. Kesatuan, kerukunan, kesejolian, kesepasangan, kesetiaan, saling pengertian, dan cinta antara suami dan istri itu juga menjadi tanda kasih setia dan rahmat Allah bagi kita umat-Nya. Sama seperti Tuhan selalu setia akan janji-Nya dan selalu rela mengampuni dosa-dosa kita, demikian pula suami selalu setia kepada istrinya dan rela mengampuni segala apa yang telah terjadi. Sekaligus kasih setia suami istri menjadi tanda bagi umat yang mengingatkan kita akan kesetiaan dan kasih Allah terhadap kita. Bahkan dalam masyarakat kita setiap keluarga yang rukun dan stabil sudah menjadi suatu pratanda dan panutan bagi lingkungannya. Sebaliknya juga pasangan suami istri membutuhkan umat yang mendukung dan mendampingi agar tetap setia satu sama lain.

SELURUH HKDUP DISUCIKAN

Karena hidup suami istri telah disucikan dalam sakramen perkawinan, maka seluruh perbuatan yang bertujuan untuk lebih mengakrabkan dan meningkatkan kehidupan keluarga serta semua pekerjaan yang tampaknya biasa dan sepele ikut diangkat enjadi suci dan luhur. Berkerja mencari nafkah bagi keluarga itu lebih daripada hanya perbuatan ekonomis belaka. Sebab dalam iman juga menampakkan tanggung jawab manusia terhadap anugerah Tuhan dan pelaksanaan perintah Allah: “kuasailah dunia ini dan taklukkanlah”. Mengatur ekonomu rumah tangga secara baik tidak hanya perlu untuk menjaga kesejahteraan keluarga, tetapi juga berarti bertanggungjawab terhadap Tuhan dan memuliakan Allah. Demikian pula, persetubuhan di satu pihak merupakan perbuatan biologis, sebagai penyaluran gairah seksual, tetapi dalam iman kristiani menjadi perbuatan yang suci dan mulia karena mengungkapkan pasrah diri secara menyeluruh antara Kristus dan umat-Nya. (dengan sendirinya jelas bahwa hal yang suci juga perlu dijaga kemurniannya dan tidak disalahgunakan).
Jelaslah kiranya bahwa perkawinan Kristiani sebagai suatu sakramen hanya dapat dihayati dalam iman. Bila iman terhadap Tuhan mulai menghilang, biasanya kerukunan dalam keluarga juga mulai runtuh. Agar kita selalu sadar akan kedudukan kita sebagai pengikut Yesus dan mampu mengatur hidup sesuai dengan semangat dan aspirasi-Nya, kehidupan iman itu perlu terus menerus dipupuk dan dikembangkan dalam keluarga kristiani.

DOA DALAM KELUARGA

Doa adalah laksana makanan rohani sehari-hari: setiap hari kita butuhkan, maka kita beri tempat dan waktu secukupnya dalam kegiatan sepanjang hari. Kita dapat berdoa sendiri-sendiri. Tetapi, berdoa bersama mempunyai suatu daya kekuatan yang lebih di hadapan Tuhan.
Kesempatan untuk berdoa bersama dalam keluarga ada banyak. Pagi hari, sebelum dan sesudah makan, malam hari. Lebih-lebih bila ada anggota keluarga yang sakit, merayakan hari ulang tahun, menghadapi peristiwa yang penting seperti ujian, melamar pekerjaan, perjalanan jauh, operasi dsb. Kesempatan paling baik untuk berdoa bersama biasanya pada malam hari karena seluruh anggota keluarga dapat berkumpul menjadi satu.
Istri mendoakan suaminya supaya Tuhan memberkati kerjaannya serta membimbing dan melindunginya dari segala bahaya di tempat kerja dan di perjalanan, supaya suami selalu setia kepada istri dan anak-anaknya serta menjadi sarana dalam tangan Tuhan untuk membawa berkat. Demikian pula sami mendoakan istrinya agar ia dapat melaksanakan segala tugas-tugasnya sebagai istri dan sebagai ibu dengan baik, sabar dan penuh kasih sayang agar Tuhan melindungi dia terhadap segala bahaya dan godaan, dsb. Orangtua mendoakan anak-anak mereka, agar selalu dilindungi Tuhan dan dapat mencintai Tuhan diatas segala-galanya; agar selalu mencintai ayah-ibu mereka; agar dapat belajar dengan baik dan menjadi orang yang jujur, adil, rajin, dan peka terhadap kebutuhan orang lain. Demikian pula, anak-anak mendoakan ayah-ibunya supaya Tuhan sudi memberikan iman yang kuat, kesehatan yang baik, panjang umur, rejeki yang cukup, kesabaran dan ketekunan dalam mendidik anak-anaknya; agar ayah ibu saling mencintai, hidup rukun dan setia satu sama lain dan memberikan teladan bagi anak-anak.
Sabda Tuhan “jikalau dua orang di dunia ini sepakat eminta apa pun juga, permintaan itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku di surga. Sebab “dimana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku berada di tengah-tengah mereka (Mat 18:19). Semoga Tuhan selalu berada di tengah-tengah keluarga Anda. (Sumber: Membangun keluarga Kristiani; Drs. T. Gilarso, SJ)

Sabtu, 21 Februari 2009

SAHNYA PERKAWINAN KATOLIK


TATA PENEGUHAN NIKAH

Perkawinan hanyalah sah bila dilangsungkan di hadapan Ordinaris Wilayah atau pastor paroki atau imam maupun diakon, yang diberi delegasi oleh salah satu dari mereka itu, yang meneguhkannya, serta di hadapan dua orang saksi; tetapi hal itu harus menurut peraturan-peraturan yang ditentukan dalam kanon-kanon, serta dengan tetap berlaku kekecualian-kekecualian yang disebut dalam Kanon 144, 1112, 1116 dan 1127 1-2. Peneguh perkawinan hanyalah orang yang hadir menanyakan pernyataan kesepakatan mempelai serta menerimanya atas nama Gereja.

AJARAN GEREJA KATOLIK TENTANG PERKAWINAN

Arti, Hakikat, Tujuan, dan Sifat-Sifat Perkawinan
Arti dan hakikat perkawinan secara umum
Tujuan hidup manusia adalah mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan. Untuk mencapainya, manusia menempuh beberapa cara: pertama, dengan hidup selibat-mem­biara (sebagai biarawan-biarawati); kedua, memenuhi panggilan hidup sebagai awam yang menikah atau awam yang hidup selibat secara sukarela. Sebagai pilihan hidup, perkawinan dilindungi oleh hukum.
Dalam arti umum, perkawinan pada hakikatnya adalah persekutuan hidup antara pria dan wanita, atau dasar saling mencintai untuk membentuk hidup bersama secara tetap dan memiliki tujuan yang sama, yaitu saling membahagiakan. Tujuan mereka membentuk persekutuan hidup ini adalah untuk mencapai kebahagiaan dan melanjut­kan keturunan. Oleh karena itu, dalam agama atau kultur tertentu, apabila perkawinan tidak dapat mendatangkan keturunan, seorang suami dapat mengambil wanita lain dan menjadikan dia sebagai istri agar dapat memberi keturunan.
Tujuan dan sifat dasar perkawinan
~*~ Saling membahagiakan dan mencapai kesejahteraan suami-istri (segi unitij). Kedua pihak memiliki tanggung jawab dan memberi kontribusi untuk mewu­judkan kesejahteraan dan kebahagiaan suami-istri.
~*~Terarah pada keturunan (segi prokreatij). Kesatuan sebagai pasutri dianuge­rahi rahmat kesuburan untuk memperoleh buah cinta berupa keturunan manusia-manusia baru yang akan menjadi mahkota perkawinan. Anak yang dipercayakan Tuhan harus dicintai, dirawat, dipelihara, dilindungi, dididik se­cara Katolik. Ini semua merupakan tugas dan kewajiban pasutri yang secara kodrati keluar dari hakikat perkawinan.
~*~ Menghindari perzinaan dan penyimpangan seksual. Perkawinan dimaksud­kan juga sebagai sarana mengekspresikan cinta kasih dan hasrat seksual ko­drati manusia. Dengan perkawinan, dapat dicegah kedosaan karena perzi­naan atau penyimpangan hidup seksual. Dengan perkawinan, setiap manusia diarahkan pada pasangan sah yang dipilih dan dicintai dengan bebas sebagai teman hidup. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Paulus, "Tetapi, kalau mereka tidak dapat menguasai diri, baiklah mereka kawin. Sebab lebih baik kawin daripada hangus karena nafsu" (lKor 7:9).
~*~ Catatan penting: dalam perkawinan Katolik, kemandulan, baik salah satu maupun kedua pasangan, tidak membatalkan perkawinan, dan tidak menjadi alasan untuk meninggalkan pasangan kemudian mencari wanita lain sebagai penggantinya. Anak adalah buah kasih dan rahmat Allah melulu.
Kekhasan Perkawinan Katolik
~*~ Dalam kanon 1055 KHK 1983, dapat dilihat pengertian dasar mengenai per­kawinan Katolik. "Dengan perjanjian, pria dan wanita membentuk kebersamaan seluruh hidup; dari sifat kodratinya, perjanjian itu terarah pada kesejahteraan suami­ istri serta kelahiran anak; oleh Kristus Tuhan, perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat sakramen.
~*~ Cinta Kristus menjadi dasar perkawinan Katolik (bdk. Yoh 15:9-17; Ef 5:22-33). Yang menjadi dasar dalam membangun hidup berkeluarga adalah cin­ta Yesus Kristus kepada Gereja- Nya. Suami dan istri dipanggil untuk saling mencintai secara timbal balik, total dan menyeluruh, saling memberi dan menerima yang diungkapkan dalam persetubuhan. Persetubuhan dilakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kondisi dan situasi pasangannya, pe­nuh pengertian, dilakukan secara sukarela, tanpa ada paksaan. Persetubuhan bukan hanya menunjukkan kesatuan fisik biologis, tetapi juga kesatuan hati, ke­hendak, perasaan, dan visi, yakni mengusahakan kebahagaiaan dan kesejahter­aan bersama. Dengan persetubuhan, sebuah perkawinan disempurnakan.
Sifat-sifat perkawinan Katolik
  • Unitas, artinya kesatuan antara seorang pria dan seorang wanita menurut relasi cinta yang eksklusif. Dengan kata lain, tidak ada hubungan khusus di luar pasutri. Sifat unitas mengecualikan relasi di luar perkawinan, po­ligami, PIL, WIL.
  • lndissolubilitas, tak terceraikan, artinya ikatan perkawinan hanya diputus­kan oleh kematian salah satu pasangan atau keduanya. "Apa yang sudah disatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia" (bdk. Mat 19:6; Mrk 10:9). Untuk itu, dituntut adanya kesetiaan dalam untung dan malang, dalam suka dan duka. Dalam hal inilah saling pengertian, pengampunan sangat dituntut.
  • Sakramental, artinya sakramentalitas perkawinan dimulai sejak terjadi­nya konsensus/perjanjian antara dua orang dibaptis yang melangsungkan perkawinan. Perkawinan disebut sakramental, artinya menjadi tanda ke­hadiran Allah yang menyelamatkan. Untuk itu, dari pasangan suami-istri dituntut adanya cinta yang utuh, total, radikal, tak terbagi sebagaimana cinta Yesus kepada Gereja-Nya (bdk. Ef 5:22-33).
Sakramentalitas Perkawinan
Sakramentalitas perkawinan hanya terjadi pada perkawinan orang-orang yang dibaptis (keduanya dibaptis). Kanon 1055 menyebutkan bahwa Kristus telah mengang­kat perkawinan menjadi sakramen (§1) sehingga sifat perkawinan antara orang-orang yang telah dibaptis adalah sakramen (§2). Kanon ini menandaskan adanya identitas antara perjanjian perkawinan orang-orang dibaptis dengan sakramen. Identifikasi ini membawa konsekuensi:
Semua perkawinan sah yang diselenggarakan antara orang-orang yang dibap­tis, dengan sendirinya merupakan sakramen (§2). Dalam hal ini, tidak dituntut maksud khusus dari mempelai untuk menerimanya sebagai sakramen. Arti­nya, perkawinan dua orang dibaptis non-Katolik, misalnya, Protestan, diang­gap sebagai sakramen meskipun mereka tidak menganggapnya demikian.
Sakramentalitas perkawinan tidak terletak pada pemberkatan pastor karena yang menjadi pelayan sakramen perkawinan adalah kedua mempelai sendiri yang berjanji.
Orang-orang yang dibaptis tidak bisa menikah dengan sah jika dengan mak­sud positif dan jelas mengecualikan sakramentalitas perkawinan.
Perkawinan antara orang yang dibaptis, dengan sendirinya akan diangkat ke dalam martabat sakramen jika keduanya dipermandikan. Mereka tidak ditun­tut untuk mengadakan perjanjian nikah baru, namun dapat meminta berkat pastor.
Perkawinan sakramental ini disempurnakan melalui persetubuhan yang dilakukan secara manusiawi. Dengan demikian, perkawinan disebut ratum, sacramentum et con­summatum. Perkawinan demikian bersifat tidak dapat diceraikan secara absolut (indis­solubilitas absolut).
Spiritualitas Perkawinan
Dalam membangun hidup berkeluarga, pasutri harus bersungguh-sungguh mem­beri kesaksian hidup, menjadi sakramen, tanda keselamatan dan menghadirkan Kera­jaan Allah. Dalam keluarga, diciptakan damai, sukacita, pengampunan, cinta kasih, kere­laan berkurban. "Sakramen Perkawinan menyalurkan kepada pasangan pasangan Kris­ten kemampuan serta kesanggupan untuk menghayati panggilan mereka sebagai awam dan karena itu, untuk mencari Kerajaan Allah dengan mengurusi hal-hal yang fana dan mengaturnya seturut kehendak Allah (FC 47). Berkat sakramen perkawinan, suami dan istri menunaikan kewajiban-kewajiban mereka sebagai suami-istri dalam keluarga, mereka diresapi oleh Roh Kristus yang memenuhi mereka dengan iman, harapan, dan cinta kasih. Demikianlah mereka semakin maju menuju kesempurnaan mereka sendiri dan saling menguduskan dan karena itu, bersama-sama berperan serta demi kemuliaan Allah Bapa (lih. FC 56// GS 48).
Syarat-Syarat dan Halangan Perkawinan
Syarat-syarat perkawinan
Orang yang diperbolehkan oleh hukum untuk menikah. Setiap orang yang tidak dilarang oleh hukum dapat menikah (kanon 1058). Menikah adalah hak asasi dan fundamental manusia. Hak ini meliputi juga hak untuk melangsungkan pernikahan dan memilih calon partner hidup­nya secara bebas. Jadi, hanya orang yang bebas dan tidak dilarang oleh hukum saja yang dapat menikah dalam Gereja Katolik.
Kesepakatan perkawinan sebagai unsur esensial dan mutlak
"Kesepakatan antara orang-orang yang menurut hukum mampu dan yang dinyatakan secara legitim, membuat perkawinan; kesepakatan itu tidak dapat diganti oleh kuasa manusiawi manapun" (kanon 1057 §1). "Kesepakatan ini menjadi syarat mutlak diadakannya suatu perkawinan yang sah. Kesepa­katan perkawinan adalah perbuatan kemauan dengan mana pria dan wanita saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali (kanon 1057 §2)':
Kesepakatan tersebut harus dibuat secara bebas, artinya tidak ada paksaan atau desakan dari luar dan atas kemauan sendiri, tidak ada paksaan dari pihak manapun (lih. kanon 1103). Kesepakatan ini dilakukan secara sadar, artinya tahu apa yang ia sepakati; perkawinan adalah suatu persekutuan tetap antara seorang pria dengan seorang wanita, terarah pada kelahiran anak, dengan suatu kerja sarna seksual (lih. kanon 1096).
Kesepakatan nikah harus dinyatakan secara lisan, atau jika mereka ti­dak dapat berbicara, dinyatakan dengan isyarat-isyarat yang senilai. Dan, ke­dua mempelai harus hadir pada saat upacara pernikahan dilangsungkan (lih. kanon 1104). Dalam keadaan khusus, kesepakatan ini juga dapat didelegasikan kepada orang lain.
Halangan-halangan perkawinan
Halangan-halangan yang berkaitan dengan hukum Gereja dapat diberi dispensasi, sedangkan halangan yang berkaitan dengan hukum ilahi tidak dapat diberi dispensasi oleh Ordinaris Wilayah.
Halangan nikah dari hukum ilahi
Halangan nikah dikatakan berasal dari hukum ilahi jika halangan itu bersumber dari hukum kodrat yang dibuat dan diatur oleh Allah sendiri dalam tata ciptaan, khu­susnya dalam hakikat dan martabat manusia (hukum ilahi-kodrati), atau ditetapkan oleh Allah melalui pewahyuan (hukum ilahi positif). Meskipun halangan ini bersumber dari hukum ilahi, namun yang mendeklarasikan secara eksplisit dan memasukkannya ke dalam KHK adalah kuasa legislatif tertinggi Gereja (bdk. kanon 1075). Menurut dok­trin umum, halangan ini adalah:
  1. impotensi seksual yang bersifat tetap (kanon 1084)
  2. ikatan perkawinan sebelumnya (kanon 1085)
  3. hubungan darah dalam garis lurus, baik ke atas maupun ke bawah (kanon 1091 §1)
Halangan nikah dari hukum gerejawi
Halangan nikah dikatakan bersifat gerejawi karena diciptakan oleh otoritas Gereja. Gereja yang tampil di dunia ini dengan struktur dan ciri masyarakat yang kelihatan me­miliki undang-undangnya sendiri yang dibuat oleh otoritas gerejawi yang berwenang untuk mencapai tujuan-tujuan khasnya secara lebih efektif, yakni menegakkan dan mempromosikan kesejahteraan umum komunitas gerejawi yang bersangkutan. Kes­ejahteraan umum ini harus sesuai dengan misi yang diterimanya sendiri dari Kristus, misi yang mengatasi dan melampaui kesejahteraan masing-masing anggota (kanon 114 §1). Selain kesejahteraan umum, hukum Gereja dibuat untuk membantu setiap orang mencapai keselamatan jiwanya karena keselamatan jiwa-jiw'a adalah norma hukum ter­tinggi (kanon 1752).
Menurut Kitab Hukum Kanonik, halangan-halangan itu adalah:
  1. halangan umur (kanon 1083)
  2. halangan beda agama (kanon 1086)
  3. halangan tahbisan suci (kanon 1087)
  4. halangan kaul kemurnian yang bersifat publik dan kekal dalam tarekat religius (kanon 1088)
  5. halangan penculikan (kanon 1089)
  6. halangan kriminal (kanon 1090)
  7. halangan hubungan darah garis menyamping (kanon 1091 §2)
  8. halangan hubungan semenda (kanon 1092)
  9. halangan kelayakan publik (kanon 1093)
  10. halangan pertalian hukum (kanon 1094)

Pembedaan kedua jenis halangan ini membawa konsekuensi hukum yang sangat besar. Halangan-halangan yang bersifat ilahi mengikat semua orang, baik yang dibaptis maupun yang tidak dibaptis, sedangkan halangan yang bersumber dari hukum gerejawi mengikat mereka yang dibaptis dalam Gereja Katolik atau yang diterima di dalamnya (kanon 1059). Halangan yang bersumber dari hukum ilahi tidak bisa didispensasi, se­dangkan dari hukum gerejawi dapat didispensasi oleh otoritas Gereja yang berwenang sesuai ketentuan yang berlaku.
Panggilan Dasar Keluarga Katolik
Menyambut clan mencintai kehiclupan
  • Berdasarkan kodratnya, perkawinan terarah pada kelahiran anak. Anak yang telah dikonsepsi harus dipelihara dan dirawat dengan penuh cinta sehingga anak yang merupakan mahkota perkawinan dan buah cinta sungguh dapat tumbuh menjadi manusia yang utuh. Melalui hal ini, suami-istri menjadi mi­tra Allah dalam menurunkan kehidupan baru.
  • Dalam konteks inilah keluarga menjadi temp at persemaian dan perlindungan hidup manusia. Di tengah situasi dunia yang ditandai oleh kultur kematian, keluar ga kristiani dipanggil untuk menjadi pencinta, perawat, penjaga, dan pembela kehidupan, mulai dari konsepsi sampai pada kematian alamiah. Ke­luarga dipanggil untuk menjadi pewarta Injil kehidupan, siap me'nerima ke­hadiran manusia baru dalam kondisi apa pun. Hal ini penting direnungkan sebab dalam masyarakat yang ditandai oleh kultur kematian, hidup manusia diukur dan dinilai berdasarkan kualitas dan prestasi, sementara hidup orang­orang yang menderita cacat bawaan, penderita sakit tak tersembuhkan, usia lanjut, dianggap hanya sebagai beban keluarga dan layak diakhiri. Maka, kelu­arga Katolik dipanggil untuk menjadi pendukung Injil kehidupan (Evangelium Vitae) dengan gerakan Pro Life.
  • Berkaitan dengan tugas dan misi keluarga untuk menjadi pembela kehidupan sejak dini, pasangan suami-istri dalam mengusahakan kesejahteraan hidup bersama harus tetap memperhatikan nilai-nilai moral sebagaimana diajarkan oleh Gereja selaku guru iman dan moral sejati. Dalam hal ini, segala macam paksaan dan intimidasi yang diarahkan kepada pasangan suami-istri Katolik untuk menggunakan alat-alat kontrasepsi artifisial, baik yang sifatnya kontra­konsepsi maupun yang bersifat abortif, dinilai melanggar kebebasan suara hati dan melanggar nilai-nilai moral.
  • Panggilan pada kebapaan dan keibuan yang bertanggung jawab menuntut pasangan suami-istri Katolik untuk mengikuti ajaran moral yang benar. Hal ini semakin relevan untuk dunia saat ini, tempat kita hidup dalam dunia yang ditandai oleh mentalitas hedonis sehingga seksualitas dan hubungan mesra suami-istri (persetubuhan) dipisahkan dari dimensi spiritual dan:makna yang sesungguhnya, yakni sebagai ungkapan saling pemberian diri secara timbal balik. Dunia saat ini juga ditandai oleh adanya pemisahan antara, kebebasan dengan kebenaran dan tanggung jawab. Orang sekarang menuntut kebebasan mutlak: bebas untuk melakukan apa saja, bebas dari norma moral, ,dan bebas dari tanggung jawab. Hal ini sudah meresap dalam mentalitas sebagian besar orang, termasuk orang Katolik. Hubungan seksual semata-mata hanya dilaku­kan untuk mencari kenikmatan, tanpa memahami hakikat dan maknanya. Dalam situasi demikian, tidak jarang orang menganggap pasangan hidupnya tidak lebih hanya sebagai objek pemuas nafsu seksnya. Dengan demikian, manusia direduksi pada objek dan tidak diperlakukan sebagai subjek yang bermartabat.
Menjadi pendidik utama dan pertama
Orang tua memiliki tugas dan tanggung jawab pertama dan utama dalam mendidik anak, dalam bidang keagamaan, kesusilaan, seksualitas, kemurnian, budaya, dan kema­syarakatan. Pendidikan meliputi dimensi kognitif (intelektual), afektif (emosi dan per­asaan), etika (nilai-nilai moral), dan estetika (nilai-nilai keindahan)
Dalam rangka memenuhi tugas mendidik anak dalam bidang hidup keimanan, orang tua pertama-tama dituntut memiliki pengalaman iman yang baik, me­nampilkan perilaku hidup yang baik sebab anak akan lebih mudah mencon­toh apa yang diperbuat orang tua. Alangkah baiknya, setiap keluarga Katolik membiasakan diri untuk mengadakan doa bersama, membaca, dan merenung­kan Sabda Tuhan bersama. Oengan demikian, keluarga menjadi Gereja mini. Keluarga menjadi kesatuan yang melambangkan kesatuan dari ketiga Pribadi Ilahi: Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Keluarga adalah Gereja mini, tempat ke­satuan bapak-ibu dan anak-anak menjadi komunitas iman "di mana ada dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka" (Mat 18:20). Oalam keluarga, seorang anak sungguh dapat menge­nal dan mengalami Allah. Oleh karena itu dalamkeluarga kristiani, orang tua harus membiasakan diri mengadakan doa bersama, ikut dalam perayaan eka­risti, menerima sakramen pengampunan secara teratur.
Untuk menjaga kekudusan keluarga Katolik, rahmat sakramen perkawinan memberikan kekuatan kepada pasangan suami-istri untuk saling mengudus­kan dan menyempurnakan. Di samping itu, pasangan suami-istri Katolik dalam hidup sehari-hari hendaknya menanamkan kesadaran dalam diri mereka dan dalam diri anak-anak untuk merindukan dan secara teratur menyambut Sakra­men Pengampunan Dosa. Dengan demikian, kita tidak akan membiarkan kelemahan-kelemahan manusiawi menjadikan kita budak dosa, tetapi dengan kerendahan hati, mau mendekatkan diri kepada Allah Yang Maharahim. Kera­himan Allah ini mengatasi kedegilan dan ketidaksetiaan manusia pada perjan­jian yang telah dibuat dengan Allah.
Dalam keluarga, seorang anak seharusnya juga mendapat pendidikan menge­nai nilai-nilai moral. Orang tua mempunyai tugas sangat berat untuk mem­bentuk anak-anak yang sungguh memiliki integritas moral. Untuk itu dalam keluaga, anak-anak dibiasakan belajar membuat keputusan sendiri dan ber­tanggung jawab atas segala perbuatannya. Hal ini tentunya dilakukan secara gradual sesuai dengan perkembangan pemikiran dan pemahaman anak se­bagaimana digambarkan dalam tingkat-tingkat perkembangan moral menu­rut Lowrence Kohlberg: tingkat prakonvensional, tingkat konvensional, dan tingkat pasca konvensional. Berkaitan dengan pendidikan moral dan kesusi­laan, orang tua harus menanamkan nilai-nilai luhur, penghormatan terhadap nilai-nilai kehidupan, penghargaan terhadap sesama manusia yang dimulai dalam lingkup keluarga.
Keluarga juga menjadi tempat pertama dan utama dalam pendidikan kese­tiakawanan dan semangat sosial anak. Bagaimana orang tua menciptakan iklim yang kondusif yang memungkinkan anak dapat saling berbagi dengan sesamanya, mau memperhatikan kebutuhan orang lain, menumbuhkan se­mangat mau saling membantu dan melayani, semangat rela berkorban, dan mau saling menghargai.
Orang tua juga memiliki tugas dan tanggung jawab utama dan pertama dalam menyelengarakan pendidikan seksualitas, cinta, dan kemurnian. Pendidikan seksualitas tentunya harus diberikan secara gradual dan proporsional. Seka­rang, bukan zamannya lagi menganggap seks sebagai barang tabu. Pendidik­an seksualitas ini sangat penting untuk membantu pertumbuhan anak. Bagai­mana orang tua memberi penjelasan tentang perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang dial ami oleh putra-putrinya.
Terlibat dalam misi perwartaan
Keluarga Katolik juga mempunyai tugas untuk berpartisipasi dalam misi pewar­taan Gereja yang diterima dari Yesus Kristus, yaitu misi kenabian, keimanan, dan rajawi, melalui penghayatan cinta kasih dalam seluruh perjalanan hidup mereka membangun keluarga yang dijiwai oleh semangat pelayanan, pengor­banan, kesetiaan, pengabdian, membagikan kekayaan rohani yang telah mereka terima dalam Sakramen Perkawinan sebagai cerminan dari cinta Yesus Kristus kepada Gereja-Nya (lih. FC 50).
Terlibat aktif dalam hidup bermasyarakat.
Dalam bidang kemasyarakatan, otang tua mempunyai kewajiban untuk mengajarkan kepada anak-anak dimensi sosial manusia. Anak dididik untuk memi­liki jiwa dan semangat solider, setia kawan, semangat berkorban, dan sehati­sejiwa dengan mereka yang berkekurangan. Pendidikan dimulai dalam keluar­ga. Anak dididik dan dilatih untuk mau membagi apa yang dimiliki. Keluarga Katolik dipanggil untuk terlibat aktif dalam membangun persaudaraan sejati (koinonia) yang didasari cinta, keadilan, dan kebenaran.
Hak dan Kewajiban Suami-Istri dan Orang Tua
Suami dan istri memiliki kewajiban dan hak yang sarna mengenai hal-hal yang menyangkut persekutuan hidup pernikahan (lih. kanon 1135).
Sebagai orang tua, mereka berkewajiban berat, dengan sekuat tenaga meng­usahakan pendidikan anak, baik fisik, sosial, kultural, moral, maupun religius (lih.kanon 1136).
Hak-hak dasar keluarga
  • Keluarga sebagai sel dasar masyarakat dan menjadi prasyarat adanya masya­rakat. Oleh karena itu, keluarga memiliki hak dasar untuk dilindungi ke­beradaannya oleh masyarakat/negara. Setiap keluarga memiliki hak untuk mengembangkan diri dan memajukan kesejahteraannya tanpa harus diha­langi oleh negara. Dalam hal-hal tertentu, keluarga memiliki hak pribadi.
  • Keluarga memiliki hak untuk hidup dan berkembang sebagai keluarga, arti­nya hak setiap orang betapa pun miskinnya, untuk membantu keluarga serta memiliki upaya-upaya yang memadai untuk menggunakannya.
  • Keluarga memiliki hak untuk melaksanakan tanggung jawabnya berkenaan dengan penyaluran kehidupan dan pendidikan anak-anak.
  • Keluarga memiliki hak untuk mendidik anak-anak sesuai dengan tradisi­-tradisi keluarga sendiri, dengan nilai-nilai religius dan budayanya, dengan per­lengkapan upaya-upaya serta lembaga-lembaga yang dibutuhkan.
  • Setiap keluarga yang miskin dan menderita memiliki hak untuk mendapat jaminan fisik, sosial, politik, dan ekonomi.
  • Di samping itu, orang tua juga harus memperhatikan dan menghormati marta­bat dan hak-hak anak. Sebenarnya sudah dengan sendirinya, martabat pribadi manusia dikenakan pada anak yang adalah manusia. Tetapi dalam kenyataan, sering kali martabat anak kurang diperhatikan, misalnya dalam sikap orang tua yang memperalat anak untuk tujuan, impian, dan obsesinya sendiri. Contohnya, memaksakan anak untuk berprestasi demi gengsi orang tua sehingga anak mera­sa tertekan.
  • Menghormati martabat anak dapat dikonkretkan dengan menghor­mati hak-hak asasi anak.
Tantangan Hidup Berkeluarga dan Solusinya
Tantangan dalam membangun keluarga pada zaman sekarang dapat dikelompok­kan ke dalam dua jenis tantangan, yakni: tantangan internal dan eksternal. Yang di­maksud dengan tantangan internal adalah apa yang berkaitan dengan pribadi-pribadi pasutri, yakni menyangkut kedewasaan pasangan, baik secara intelektual, psikologis, emosional, spiritual, maupun moral. Yang termasuk tantangan eksternal dapat berupa keadaan masyarakat dunia dan intervensi pihak ketiga: mertua, saudara, PIL, dan WIL. Konkretnya, tantangan tersebut berupa:
  • Mentalitas materialistis: kehausan dan kerinduan untuk menumpuk kekayaan, uang, mengukur segalanya dengan materi, bahkan anak pun dianggap sebagai in­vestasi, bukan sebagai buah kasih sayang. Relasi antarpasutri pun terpengaruh. "Ada uang abang kusayang, tidak ada uang abang kutendang!"
  • Hedonisme .. menjadikan kenikmatan sebagai tujuan segalanya, hubungan seksu­al pun hanya dipahami sebatas pemuas nafsu seks, menjadikan pasangan (suami ­istri) sebagai objek pemuas insting dan dorongan seksual.
  • Konsumerisme" keinginan untuk mengonsumsi dipicu oleh kecanggihan te­knologi periklanan yang begitu persuasif. Hal ini menjadi faktor pemicu masalah dalam hubungan keluarga.
  • Utilitarisme :menilai sesuatu hanya berdasarkan segi kegunaannya, bahayanya kalau memperlakukan istri-suami hanya karena kegunaan dan fungsi.
  • Individualisme : mementingkan kepentingan dan kesenangannya sendiri, tidak peduli orang lain, tidak ada kerelaan untuk mengalah dan menyisihkan kepent­ingannya sendiri, untuk mendahulukan kepentingan bersama. Akibatnya, setiap unsur dalam keluarga diabaikan.
  • Relativisme moral : tidak ada nilai yang diahut dan diterima secara universal, semuanya serba relatif .. mengarah pada sikap permisif, semua serba boleh.
  • Kesibukan mengejar karier .. tugas dan tanggung jawab utama dalam keluarga diabaikan .. rumah hanya dijadikan losmen. Dalam hal ini, pandangan tradisional tentang tugas dan panggilan luhur yang dimiliki setiap wanita sebagai ibu dan istri, tetap relevan, tanpa mengecualikan mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi, sosial, dan keagamaan.
  • Kesibuka antara suami-istri .. membawa rlampak negatif dalam kehidupan ke­luarga. Komunikasi antara pasutri renggang. Komunikasi antara orang tua-anak renggang sehingga anak berbuat sesuatu yang aneh-aneh di luar rumah: sekolah, lingkungan; menjadi pecandu narkoba.
  • Ketidaksetiaan .. penyelewengan-perselingkuhan baik itu dilakukan oleh pihak suami maupun oleh pihak istri (PIL dan WIL). Bagaimana sikap Anda dihadapkan pada ketidaksetiaan dan pengkhianatan pasangan Anda?
Solusi
Dalam usaha memelihara hidup bersama dalam keluarga, lebih-Iebih dalam situ­asi sulit, mereka dianjurkan terus-menerus membangun sikap saling mengampuni, bukan sebaliknya. Usaha pemulihan hidup bersama harus terus diperjuangkan ter­lebih untuk mengatasi bahaya perceraian dalam hidup perkawinan, kasus perpisa­han dalam pernikahan (lih. kanon 1151-1153).
Untuk membangun satu kebersamaan hidup yang saling membahagiakan, per­lu diperhatikan adanya kejujuran dan keterbukaan satu sarna lain, menciptakan kom'unikasi yang mendalam, komunikasi sampai ke tingkat perasaan, saling mem­percayai, semangat berkorban, kesediaan untuk mendengarkan satu sarna lain, pengosongan diri (bdk. Flp 2:5-11), kerendahan hati, kesetiaan, saling mengam­puni, saling melayani (lihat perbuatan simbolik Yesus mencuci kaki para rasul) , saling meneguhkan, saling menjaga nama baik.
Diusahakan adanya correctio fraterna (saling. memberi masukan dalam sua sana persaudaraan) antara suami-istri dan anak-anak, lalu ditutup doa bersama sebagai sarana untuk membina hubungan antarpribadi dalam keluarga (bdk. Mat 18:15­20).
Segala macam persoalan yang menyangkut kebijakan suami-istri dan keluarga ha­rus dibicarakan bersama .. ada perencanaan bersama dan risiko atau keberhasilan ditanggung bersama. Dalam hal ini, tidak akan ada saling lempar tanggung jawab (jangan meniru Adam dan Hawa yang melemparkan tanggung jawab).